Rabu, 19 Mei 2010

BIOPESTISIDA JAMUR KUBIS ENTOMOPATOGENIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sejauh ini kerugian yang dialami sektor pertanian Indonesia akibat serangan hama dan penyakit mencapai miliaran rupiah dan menurunkan produktivitas pertanian sampai 20 persen.Menghadapi seriusnya kendala tersebut, sebagian besar petani Indonesia menggunakan pestisida kimiawi. Upaya tersebut memberikan hasil yang cepat dan efektif. Kenyataan ini menyebabkan tingkat kepercayaan petani terhadap keampuhan pestisida kimiawi sangat tinggi. Sejalan dengan hal itu, promosi dari perusahan pembuat pestisida yang sangat gencar semakin meningkatkan ketergantungan petani terhadap pestisida kimiawi. Seperti halnya kebutuhan pupuk yang terus meningkat, kebutuhan pestisida juga memperlihatkan pertumbuhan tiap tahun. Rata-rata peningkatan total konsumsi pestisida per tahun mencapai 6,33 persen, namun pada kenyataannya di lapangan diperkirakan dapat mencapai lebih dari 10 – 20 persen. Di lain pihak, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan manusia.
Keseimbangan alam terganggu dan akan mengakibatkan timbulnya hama yang resisten, ancaman bagi predator, parasit, ikan, burung dan satwa lain. Salah satu penyebab terjadinya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan adalah adanya residu pestisida di dalam tanah sehingga dapat meracuni organisme nontarget, terbawa sampai ke sumber-sumber air dan meracuni lingkungan sekitar. Bahkan, residu pestisida pada tanaman dapat terbawa sampai pada mata rantai makanan, sehingga dapat meracuni konsumen, baik hewan maupun manusia
Proteksi dan perlindungan tanaman merupakan satu faktor teknis budidaya yang akhir-akhir ini menjadi perhatian para petani. Proteksi dan perlindungan tanaman yang dimaksud adalah melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit. Cara yang digunakan oleh para petani untuk menanggulangi hama dan penyakit tersebut adalah dengan penggunaan insektisida. Insektisida adalah zat kimia sintesis yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama dan penyakit yang disebabkan oleh serangga yang menyerang tanaman (Cahyono, 2002).
Selama ini, pengendalian hama tanaman yang dilakukan oleh para petani masih mengandalkan insektisida kimia (Marwoto, 1992). Padahal, penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan resistensi, dan musnahnya musuh alami. Insektisida kimia memang dapat mengamankan produksi pertanian secara ekonomis. Hal ini dikarenakan insektisida kimia memiliki keunggulan komparatif yaitu sangat efektif, praktis dan cocok atau kompatibel dengan teknik pengendalian yang lain. Alasan itu yang mendorong para petani untuk sering menggunakan insektisida. Peran musuh alami sebagai salah satu agen hayati semakin penting sejalan dengan penerapan konsep pengendalian hama terpadu (Rauf, 1996).
Bertolak dari keadaan dunia pertanian Indonesia seperti tersebut di atas maka usaha untuk memproduksi biopestisida di dalam negeri amat memungkinkan. Faktor yang mendukung di antaranya adalah bahwa Indonesia cukup kaya dengan berbagai jenis jasad renik yang spesifik di daerah tropis dan lebih sesuai untuk iklim Indonesia, karena pada umumnya biopestisida dieksplorasi dari berbagai jenis mikroorganisme, yang merupakan musuh alami, sehingga dari ketersediaan bahan baku sangatlah berlimpah. Alam Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat. Jenis jamur Trichoderma harzianum dapat dijadikan produk biofungisida yang efektif untuk mengendalikan jamur penyakit tanaman hortikultura, sayuran maupun tanaman perkebunan dan kehutanan. Jamur Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana, B. brongniartii, Verticillium lecanii, Paecilomyces sp., Entomophhthora sp., dan jamur entomopatogen lainnya dapat dijadikan produk-produk bioinsektisida. Produk bioinsektisida dengan bahan aktif jamur-jamur di atas umumnya disebut sebagai produk mikoinsektisida, yang efektif terhadap hama serangga tanaman padi, sayuran, hortikultura, dan perkebunan.
Serangan hama merupakan salah satu faktor pembatas untuk peningkatkan produksi pertanian yang dalam kasus ini adalah pemeliharaan anggrek. Untuk megendalikan hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Ditengah maraknya budidaya pertanian organik, maka upaya pengendalian hama yang aman bagi produsen/petani dan konsumen serta menguntungkan petani, menjadi prioritas utama. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana. Pada makalah ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai biopestisida jamur entomopatogen.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pambuatan makalah ini yaitu :
• Mengetahui biopestisida oleh jamur kubis entomopatogenik.
• Mengetahui mekanisme kerja jamur entamopatogen Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biopestisida
Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi telah banyak diteliti, tetapi belum banyak dipakai.
2.2 Jenis-jenis Biopestisida
Jenis-jenis biopestisida, antara lain :
1. Insektisida biologi (Bioinsektisida)
Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya (Sastroutomo, 1992).
Pada saat ini hanya beberapa insektisida biologi yang sudah digunakan dan diperdagangkan secara luas. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis (Khetan, 2001). Bacillus thuringiensis var. kurstaki telah diproduksi sebagai insektisida biologi dan diperdagangkan dalam berbagai nama seperti Dipel, Sok-Bt, Thuricide, Certan dan Bactospeine. Bacillus thuringiensis var. Israelensis diperdagangkan dengan nama Bactimos, BMC, Teknar dan Vektobak. Jenis insektisida ini efektif untuk membasmi larva nyamuk dan lalat (Sastroutomo, 1992).
Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae, yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jengkerik. Nama dagangnya ialah NOLOC, Hopper Stopper. Cacing yang pertama kali didaftarkan sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae, yang diperdagangkan dengan nama Spear, Saf-T-Shield. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap (Sastroutomo, 1992).
1.Herbisida biologi (Bioherbisida)
Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Bioherbisida yang pertama kali digunakan ialah DeVine yang berasal dari Phytophthora palmivora yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Bioherbisida yang kedua dengan menggunakan Colletotrichum gloeosporioides yang diperdagangkan dengan nama Collego dan digunakan pada tanaman padi dan kedelai di Amerika (Sastroutomo, 1992).
1.Fungisida biologi (Biofungisida)
Biofungisida menyediakan alternatif yang dipakai untuk mengendalikan penyakit jamur. Beberapa biofungisida yang telah digunakan adalah spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.Merek dagangnya ialah Saco P dan Biotri P (Novizan, 2002).
Biofungisida lainnya menurut Novizan (2002), yaitu Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. Produk komersialnya sudah dapat dijumpai di Indonesia dengan merek dagang Ganodium P yang direkomendasikan untuk mengendalikan busuk akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.
Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. Bakteri ini telah diproduksi secara masal dengan merek dagang Emva dan Harmoni BS (Novizan, 2002).
Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).
Beberapa jenis tanaman yang mampu mengendalikan hama seperti famili Meliaceae (nimba, Aglaia), famili Anonaceae (biji srikaya, biji sirsak, biji buah nona). Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga (hama) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman). Formulasi Beuveria bassiana (isolat Segunung) mampu mengendalikan hama kumbang moncong yang merupakan hama utama anggrek dan serta mengendalikan kumbang mawar serta kutu daun pada tanaman krisan.
Dari kelompok bakteri yang telah banyak diteliti dan digunakan sebagai agen hayati (pestisida hayati) adalah genus Bacillus (B. polimyxa, B. subtilis dan B. thuringiensis), Pseudomonas (P. Fluorescens-Pf), kelompok cendawan (Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp). Formulasi pestisida hayati yang telah dihasilkan BALITHI diantaranya Bio-PF mengandung Pf untuk mengendalikan penyakit layu bakteri dan cendawan, rebah kecambah dan bercak daun yang disebabkan oleh Fusarium sp., Phytiuum sp., Vericillium albo-atrum, Alternaria spp. dan Rhizoctonia solani.
Bio-GL mengandung Gliocladium spp. untuk mengendalikan penyakit tular tanah yang disebabkan oleh Phomosis seclerotiodes, Phytium spp, Rhizoctonia solani, Sclerotinia sclerotiorum. Glicompost berbentuk kompos yang berbahan aktif Gliocladium spp., untuk mengendalikan patogen tular tanah serta penyakit layu Fusarium, Phomosis seclerotiodes, Phytium spp, Rhizoctonia solani dan Sclerotinia sclerotiorum pada tanaman hortikultura. Prima-BAPF mengandung Bacillus sp dan Pf, untuk mengendalikan penyakit akar bengkak, rebah kecambah, layu Fusarium, layu bakteri, busuk daun Rhizoctonia dan karat.
2.3 Metarhizium spp.
Cendawan entomopatogen merupakan salah satu agen hayati yang potensial untuk mengendalikan hama tanaman (Sumartini et al., 2001). Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama tanaman perkebunan dan sayuran adalah Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Paecilomyces sp., Verticillium sp., dan Spicaria sp. (Pendland dan Boucias, 1998).
Cendawan M. anisopliae mampu menginfeksi hama yang mempunyai tipe mulut menusuk dan mengisap, yaitu Riptortus linearis baik stadia nimfa maupun imago (Sumartini et al., 2001). Selain itu, M. anisopliae juga mampu menginfeksi hama yang mempunyai tipe mulut menggigit seperti S. litura (Prayogo dan Tengkano, 2004). Dengan demikian terbuka peluang yang sangat luas untuk memanfaatkan cendawan M. anisopliae sebagai salah satu gen hayati dalam program pengelolaan hama kedelai. Beberapa kelebihan pemanfaatan cendawan entomopatogen dalam pengendalian adalah mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam walaupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Hall, 1973).

BAB III
PEMBAHASAN

Prospek Penggunaan Jamur Entomopatogenik sebagai insektisida hayati harus tahu bahwa pengendalian hama secara biologi atau pengendalian hayati mendapat perhatian yang cukup besar di dunia pertanian. Hal ini antara lain disebabkan oleh kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan bahanyanya pengaruh samping penggunaan pestisida kimia baik terhadap manusia maupun lingkungan. Dampak negatif penggunaan pestisida yang kurang bijaksana akan menimbulkan resistensi hama, resurgensi hama, munculnya hama kedua, terbunuhnya jasad bukan sasaran musuh alami , residu pestisida dan pencemaran lingkungan. Kecenderungan masyarakat untuk menikmati hasilhasil pertanian yang bebas residu pestisida semakin meningkat.
Salah satu agens hayati yang bisa digunakan sebagai pengendalian hayati atau biologi adalah jamur entomopatogenik ( jamur yang memakan hama ). Ada beberapa alasan mengapa jamur entomopatogenik banyak menjadi pilihan untuk pengendalian hama dari pada organisme lain. Diantaranya jamur entomopatogenik mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang dapat bertahan lama di alam, bahkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan sekalipun. Disamping itu relatif aman, bersifat selektif, kompatibel dengan berbagai insektisida, relatif mudah diproduksi, kemungkinan menimbulkan resistensi sangat kecil.
Untuk mengendalikan hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Ditengah maraknya budidaya pertanian organik, maka upaya pengendalian hama yang aman bagi produsen/petani dan konsumen serta menguntungkan petani, menjadi prioritas utama. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae.
3.1 Jamur Beauveria bassiana
Beauveria bassiana Fungus
Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae. Jamur Beauveria bassiana adalah jamur mikroskopik dengan tubuh berbentuk benang-benang halus (hifa). Kemudian hifa-hifa tadi membentuk koloni yang disebut miselia. Jamur ini tidak dapat memproduksi makanannya sendiri, oleh karena itu ia bersifat parasit terhadap serangga inangnya. Jamur Beauveria bassiana menyerang Plutella xylostella. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga pada tanaman atau pohon. Jamur Beauveria bassiana berwarna putih, dan biasanya cukup kelihatan pada badan inangnya. Jika dilihat dengan kaca pembesar, spora jamur ini ternyata tumbuh berkelompok, sehingga berupa bola-bola spora.
Cendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih , bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya. Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988).
Daur hidup
Jamur Beauveria bassiana tumbuh pada serangga, kemudian membuat spora (semacam biji). Spora lepas dari jamur dan dibawa angin atau air ke tempat lain. Jika spora kena serangga, bisa tumbuh menjadi jamur lagi.

Sistem kerja
Sistem kerjanya yaitu spora jamur B. bassiana masuk ketubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang dapat berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kutikula tubuh serangga. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Jamur ini selanjutnya akan mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Setelah itu, miselia jamur akan tumbuh ke seluruh bagian tubuh serangga. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan tertutup oleh benang-benang hifa berwarna putih. Beberapa keunggulan jamur patogen serangga B. bassiana sebagai pestisida hayati yaitu :
• Selektif terhadap serangga sasaran sehingga tidak membahayakan serangga lain bukan sasaran, seperti predator, parasitoid, serangga penyerbuk, dan serangga berguna lebah madu.
• Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun pada aliran air alami.
• Tidak menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman
• Mudah diproduksi dengan teknik sederhana.

Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. Hunt et al. (1984) menyatakan bahwa perkecambahan konidia cendawan baik pada integumen serangga maupun pada media buatan umumnya membutuhkan nutrisi tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan nitrogen, terutama untuk pertumbuhan hifa(Thomas et al., 1987). Beberapa strain isolat B. bassiana yang dikoleksi saat ini adalah berasal dari berbagai spesies serangga hama yang merupakan inang spesifiknya. B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kučera dan Samšiňáková, 1968).
Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al. (1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. Bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. Bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Serangga yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya.

3.2 Metarhizium anisopliae
a. Karakteristik Cendawan M. anisopliae
M. anisopliae adalah salah satu cendawan entomopatogen yang termasuk dalam divisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia (Strack, 2003). Koloni cendawan M. anisopliae pada awal pertumbuhannya berwarna putih, kemudian berubah menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur. Miselium bersekat, diameter 1,98-2,97 µm, konidiofor tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran 9,94 x 3,96 µm.
Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 220 – 270C (Roddam dan Rath, 1997), walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin (Bidochka et al., 2000). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan di atas 90%, namun demikian Milner et al. (1997) melaporkan bahwa konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembapan udara sangat tinggi hingga 100%. Koloni dapat tumbuh dengan cepat pada beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), jagung dan beras.
Menurut Alexopoulus et al. (1996), klasifikasi Metarhizium anasopliae adalah sebagai berikut :
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Family : Clavicipitaceae
Genus : Metarhizium
Species : Metarhizium anisopliae

b. Entomopatogenitas M. anisopliae
Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Alexopoulus dan Mims, 1996). Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia. M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera (Starck, 2003). M. anisopliae telah terbukti mampu mematikan Plutella xylostella dari ordo Lepidoptera yang menyerang tanaman kubis (Winarto dan Nazir, 2004). M. anisopliae juga mampu mematikan Ostriania furnacalid Guenee pada tanaman jagung (Freimosser et al. 2003).
Kemampuan entomopatogenitas M. anisopliae dikarenakan cendawan M. anisopliae memiliki aktivitas larvisidal karena menghasilkan cyclopeptida, destruxin A, B, C, D, E dan desmethyldestruxin B. Destruxin telah dipertimbangkan sebagai bahan insektisida generasi baru. Efek destruxin berpengaruh pada organella sel target (mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus), menyebabkan paralisa sel dan kelainan fungsi lambung tengah, tubulus malphigi, hemocyt dan jaringan otot (Widiyanti dan Muyadihardja, 2005).

c. Mekanisme Infeksi M. anisopliae
Mekanisme infeksi M. anisopliae menurut Ferron (1985) dapat digolongkan menjadi empat tahapan etologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan. Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembang baik secara tidak sempurna. Dalam proses ini, senyawa mukopolisakarida memegang peranan penting. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Kelembapan udara yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan. Cendawan pada tahap ini dapat memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen.
Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Cendawan dalam melakukan penetrasi menembus integumen dapat membentuk tabung kecambah (appresorium) (Bidochka et al., 2000). Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Strack, 2003). Pada umumnya serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora. Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh M. anisopliae yaitu lipase, khitinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase (Freimoser et al., 2003).
Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh seranggga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toxin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain terutama bakteri. Tidak selalu cendawan tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam jasad serangga tanpa ke luar menembus integumen. Dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Ferron, 1985).

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Keefektifan M. anisopliae dalam Mengendalikan Hama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan keefektifan M. anisopliae dalam mengendalikan hama yaitu :
1. Media Spirulasi
Media yang dipakai untuk menumbuhkan cendawan entomopatogen sangat menentukan laju pembentukan koloni dan jumlah konidia selama pertumbuhan. Jumlah konidia akan menentukan keefektifan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan serangga. Media dari jagung manis atau jagung lokal + gula 1% menghasilkan jumlah konidia dan persentase daya kecambah konidia yang lebih tinggi dibandingkan media yang lain (Prayogo dan Tengkano, 2004). Kardin dan Priyatno (1996) menyatakan bahwa cendawan entomopatogen membutuhkan media dengan kandungan gula yang tinggi di samping protein. Media dengan kadar gula yang tinggi akan meningkatkan virulensi cendawan entomopatogen. Sporulasi M. anisopliae dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dari media tumbuh yang digunakan. Media tumbuh yang mengandung komponen nitrogen dari unsur organik paling banyak digunakan untuk menumbuhkan M. anisopliae. Media sebagai bahan pembawa (bearer) spora seperti agar dapat menyediakan hara yang cukup dan sangat dibutuhkan untuk pembentukan konidia cendawan entomopatogen. Daya kecambah (viabilitas) cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integument serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan keberhasilan cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya. Faktor lingkungan ( sinar matahari, kelembapan, dan temperatur ) sangat menentukan keberhasilan proses infeksi di samping faktor ganti kulit (moulting) dari serangga (Luz et al., 1998).
Media tumbuh juga mempengaruhi virulensi M. anisopliae pada S. litura. Virulensi yang tinggi umumnya disebabkan oleh toksin yang terkandung dalam cendawan. Toksin yang terkandung dalam M. anisopliae dapat menyebabkan mortalitas Spodoptera frugiperda hingga 100% (Prayogo dan Tengkano, 2004). Toksin menyebabkan terjadinya lisis pada integumen serangga yang tersusun dari protein dan khitin. Virulensi M. anisopliae yang ditumbuhkan pada media jagung manis paling tinggi yaitu 72, 80 % untuk dapat menyebabkan mortalitas S. litura. Jagung lokal juga dapat digunakan sebagai media tumbuh M. anisopliae. Namun, media tersebut perlu ditambah gula 1 % agar virulensinya meningkat hingga 70,25% setara dengan virulensi cendawan yang ditumbuhkan pada media jagung manis.
Media Potato Dextrosa Agar (PDA) dapat juga digunakan untuk pertumbuhan M. anisopliae karena tidak merusak virulensi, patogenitas serta toksisitasnya. Penelitian Widiyanti dan Muyadihardja (2005) yang mengkultur M. anisopliae pada berbagai media antara lain Sabouraud Dextrosa Agar (SDA), medium gandum, medium beras, medium jagung, dan medium Potato Dextrosa Agar (PDA) ternyata media yang paling banyak menghasilkan konidiospora dan paling virulen terhadap larva nyamuk adalah jamur yang dikultur pada medium PDA.
2. Kerapatan Konidia
Mortilitas serangga sangat ditentukan oleh kerapatan konidia cendawan entomopatogen yang diaplikasikan. Makin tinggi kerapatan konidia M. anisopliae, makin tinggi pula mortalitas serangga (Proyogo dan Tengkano, 2004). Kerapatan konidia M. anisopliae 107/ml paling optimum untuk mengendalikan S. litura. Ferron (1985) juga menyatakan bahwa kerapatan konidia 107/ml sudah mampu membunuh serangga dari ordo Lepidoptera.
Kerapatan konidia yang optimal untuk mengendalikan hama bergantung pada jenis serangga yang akan dikendalikan. Kerapatan konidia 1015/ml M. anisopliae untuk mengendalikan imago wereng coklat dan hanya memerlukan kerapatan konidia 105-106/ml untuk mengendalikan Triatoma infestans (Luz et al., 1998).
3. Frekuensi Aplikasi
Mortalitas hama juga sangat ditentukan oleh frekuensi aplikasi M. anisopliae (Prayogo dan Tengkano, 2004). Aplikasi M. anisopliae satu kali sebenarnya sudah mampu mematikan S. litura hingga 40%. Namun, tingkat mortalitas S. litura meningkat hingga 83% bila aplikasi ditingkatkan menjadi tiga kali berturut-turut selama 3 hari. Widayat dan Rayati (1993) menganjurkan aplikasi M. anisopliae empat kali untuk mengendalikan ulat jengkal (E. bhurmitra). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa aplikasi cendawan entomopatogen perlu dilakukan lebih dari satu kali, apalagi bila serangga hama mempunyai siklus hidup yang terdiri atas beberapa stadia instar seperti S. litura. Aplikasi berulang diperlukan pula untuk mengantisipasi faktor lingkungan yang kurang mendukung sehingga tingkat keberhasilannya rendah.
4. Tempat Penyimpanan
Ruang penyimpanan biakan cendawan entomopatogen akan menentukan viabilitas cendawan. Viabilitas konidia cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, pH, radiasi sinar matahari, dan kandungan nutrisi bahan pembawa. Prayogo dan Tengkano (2004) menyatakan bahwa ruang kamar mandi dengan temperatur 200 - 260 C cukup baik untuk menyimpan biakan cendawan. Suhu dan kelembapan yang sesuai bagi cendawan akan mengurangi dehidrasi cendawan saat disimpan. Dehidrasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan pada struktur cendawan khususnya konidia, sehingga banyak konidia yang infektif sebelum melakukan proses infeksi pada serangga inang.
5. Umur Biakan
Umur biakan M. anisopliae sangat mempengaruhi virulensinya pada larva S. litura. Biakan cendawan berumur 1 bulan paling efektif mengendalikan S. litura. Pada biakan berumur 2 atau 3 bulan, nutrisi dalam media banyak digunakan untuk memproduksi konidia sehingga cendawan kehabisan cadangan nutrisi. Akibatnya konidia cendawan banyak yang membentuk struktur khusus yaitu arthrospora untuk menghindari lingkungan yang tidak sesuai (Ferron, 1985). Oleh karena itu, beberapa organ khusus tidak efektif lagi bila digunakan sebagai organ infektif terhadap hama sasaran. Luz et al., (1998) melaporkan bahwa kualitas dan kuantitas nutrisi dari media sangat mempengaruhi dari virulensi cendawan entomopatogen. Selanjutnya Boucias dan Pendland (1984) menyebutkan bahwa di samping kualitas dan kuantitas nutrisi, komponen substrat pada integumen juga berpengaruh terhadap proses infeksi.

BAB IV
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
• Salah satu agens hayati yang bisa digunakan sebagai pengendalian hayati atau biologi adalah jamur entomopatogenik ( jamur yang memakan hama ).
• Pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae yang merupakan cendawan entomopatogen yang termasuk dalam Hyphomycetes.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2008. Bioinsektisida, pengendali hama yang ramah lingkungan. http://www.anggrek.org/. 5 Juni 2009.

Arint. 2009 Multiplikasi Metarhizium. http://rientha.blogspot.com/2009/01/perbanyakan-massal-metarhizium_01.html. 5 Juni 2009.
Duhri. 2008. Metarhizium spp. http://pangerancakeb.wordpress.com/artikel/metharhizium/. 5 Juni 2009.
Prabowo. 2008. Biopestisida. http://www.metamorfosa-magz.blogspot.com/. 5 Juni 2009.

Soetopo, D. dan Igaa Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif/4%20_desi_%20PERSPEKTIF-BEAUVERIA%20set.pdf. 5 Juni 2009.

Yulifianti, R. 2008. Biopestisida. http://bioindustri.blogspot.com/2008/04/biopestisida.html. 5 Juni 2009.

Tidak ada komentar: