Rabu, 19 Mei 2010

FEROMON SEX INSEKTA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Serangga merupakan hama yang paling dominan menyerang tanaman. Serangga paling banyak menyerang tanaman padi, palawija, hortikultura, buah-buahan mulai dari benih, bibit, bunga, daun, akar, batang dan buah. Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem (Tarumingkeng, 2001).
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata (Tarumingkeng, 2001).
Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida (Tarumingkeng, 2001).
Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model.
Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk pengendalian. Feromon sintetik dalam pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama (Tarumingkeng, 2001).
Jenis feromon berbeda-beda pada setiap jenis serangga baik sebagai hama pada tanaman tertentu maupun yang berperan pada tanaman tertentu, diantaranya seperti feromon sex, feromon agregasi, feromon jejak, feromon penunjuk jalan. Dalam hal ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai feromon dan feromon sex pada beberapa serangga.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan paper ini yaitu :
• Untuk mengetahui dan memahami mengenai feromon
• Untuk mengetahui jenis-jenis feromon
• Mengetahui mekanisme kerja feromon
• Mengetahui senyawa feromon sex pada serangga tertentu

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Feromon
Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies) (Anonim,2009).
Ketika pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan fungsi reproduksi serangga. Penemu zat feromon pertama kalinya pada hewan (serangga) adalah Jean-Henri Fabre, ketika pada satu musim semi tahun 1870 an pengamatannya pada ngengat ‘Great peacock’ betina keluar dari kepompongnya dan diletakkan di kandang kawat di meja studinya untuk beberapa lama menemukan bahwa pada pada malam harinya lusinan ngengat jantan berkumpul merubung kandang kawat di meja studinya. Fabre menghabiskan tahun-tahun berikutnya mempelajari bagaimana ngengat-ngengat jantan ‘menemukan’ betina-betinanya. Fabre sampai pada kesimpulan jika ngengat betina menghasilkan ‘zat kimia’ tertentu yang baunya menarik ngengat-ngengat jantan (Anonim,2009).
a. Feromon Pada Kupu-kupu
Ketika kupu-kupu jantan atau betina mengepakkan sayapnya, saat itulah feromon tersebar di udara dan mengundang lawan jenisnya untuk mendekat secara seksual. Feromon seks memiliki sifat yang spesifik untuk aktivitas biologis dimana jantan atau betina dari spesies yang lain tidak akan merespons terhadap feromon yang dikeluarkan betina atau jantan dari spesies yang berbeda
b. Feromon Pada Rayap
Untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada di depan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen), yang dapat dideteksi oleh rayap yang berada di belakangnya. Sifat kimiawi feromon ini sangat erat hubungannya dengan bau makanannya sehingga rayap mampu mendeteksi obyek makanannya.
Feromon Dasar Rayap: Pengatur Perkembangan
Di samping feromon penanda jejak, para pakar etologi (perilaku) rayap juga menganggap bahwa pengaturan koloni berada di bawah kendali feromon dasar (primer pheromones). Misalnya, terhambatnya pertumbuhan/ pembentukan neoten disebabkan oleh adanya semacam feromon dasar yang dikeluarkan oleh ratu, yang berfungsi menghambat diferensiasi kelamin.
Segera setelah ratu mati, feromon ini hilang sehingga terbentuk neoten-neoten pengganti ratu. Tetapi kemudian neoten yang telah terbentuk kembali mengeluarkan feromon yang sama sehingga pembentukan neoten yang lebih banyak dapat dihambat.
Feromon dasar juga berperan dalam diferensiasi pembentukan kasta pekerja dan kasta prajurit, yang dikeluarkan oleh kasta reproduktif.
Dilihat dari biologinya, koloni rayap sendiri oleh beberapa pakar dianggap sebagai supra-organisma, yaitu koloni itu sendiri dianggap sebagai makhluk hidup, sedangkan individu-individu rayap dalam koloni hanya merupakan bagian-bagian dari anggota badan supra-organisma itu.
Perbandingan banyaknya neoten, prajurit dan pekerja dalan satu koloni biasanya tidak tetap. Koloni yang sedang bertumbuh subur memiliki pekerja yang sangat banyak dengan jumlah prajurit yang tidak banyak (kurang lebih 2 - 4 persen). Koloni yang mengalami banyak gangguan, misalnya karena terdapat banyak semut di sekitarnya akan membentuk lebih banyak prajurit (7 - 10 persen), karena diperlukan untuk mempertahankan sarang.
c. Feromon Pada Ngengat
Komunikasi melalui feromon sangat meluas dalam keluarga serangga. Feromon bertindak sebagai alat pemikat seksual antara betina dan jantan. Jenis feromon yang sering dianalisis adalah yang digunakan ngengat sebagai zat untuk melakukan perkawinan. Ngengat gipsi betina dapat mempengaruhi ngengat jantan beberapa kilometer jauhnya dengan memproduksi feromon yang disebut "disparlur". Karena ngengat jantan mampu mengindra beberapa ratus molekul dari betina yang mengeluarkan isyarat dalam hanya satu mililiter udara, disparlur tersebut efektif saat disebarkan di wilayah yang sangat besar sekalipun.
d. Feromon Pada Semut dan Lebah Madu
Feromon memainkan peran penting dalam komunikasi serangga. Semut menggunakan feromon sebagai penjejak untuk menunjukkan jalan menuju sumber makanan. Bila lebah madu menyengat, ia tak hanya meninggalkan sengat pada kulit korbannya, tetapi juga meninggalkan zat kimia yang memanggil lebah madu lain untuk menyerang.
Demikian pula, semut pekerja dari berbagai spesies mensekresi feromon sebagai zat tanda bahaya, yang digunakan ketika terancam musuh; feromon disebar di udara dan mengumpulkan pekerja lain. Bila semut-semut ini bertemu musuh, mereka juga memproduksi feromon sehingga isyaratnya bertambah atau berkurang, bergantung pada sifat bahayanya (Anonim,2009).

2.2 Alomon dan Feromon
Alomon adalah zat yang digunakan untuk komunikasi antargenus. Namun, feromon adalah isyarat kimiawi yang terutama digunakan dalam genus yang sama dan saat disekresikan oleh seekor semut dapat dicium oleh yang lain. Saat semut menyekresi cairan ini sebagai isyarat, yang lain menangkap pesan lewat bau atau rasa dan menanggapinya. Penelitian mengenai feromon semut telah menyingkapkan bahwa semua isyarat disekresikan menurut kebutuhan koloni. Selain itu, konsentrasi feromon yang disekresikan semut bervariasi menurut kedaruratan situasi (Anonim,2009).
Feromon dan alomon merupakan bahan kimia yang disekresi keluar tubuh serangga oleh kelenjar eksokrin sehingga bereaksi di luar tubuh (antar individu). Feromon menjembatani komunikasi individu dalam satu spesies. Kegunaannya beragam mulai dari daya tarik antar kelamin, mencari pasangan, mengisyaratkan bahaya, menandai jejak dan wilayah, serta berbagai interaksi intraspesifik lainnya. Sedangkan allomon merupakan bahan kimia yang bekerja menjembatani komunikasi antar spesies dengan keuntungan bagi penghasil allomonnya. Allomon dipergunakan untuk mengusir predator, membingungkan mangsa, dan memediasi interaksi simbiotik (Winoto, 2009).

2.3 Komunikasi Kimiawi
Senyawa penghubung pada tumbuhan dan serangga fitofagus komunikasi serangga dengan lingkungan : melalui perantaraan senyawa kimia yg disebut Semiokhemikal. Semiokhemikal digolongkan :
-Feromon
-Alelokhemik
Alelokhemik :
Allomone, senyawa ini menimbulkan respon penolakan
Kairomone, senyawa ini menimbulkan respon menarik kehadiran serangga
Synomone, senyawa ini menimbulkan respon simbiotik
Apneumone, senyawa penghubung antara serangga dengan benda mati
Alomon adalah zat yang digunakan untuk komunikasi antargenus. Feromon adalah isyarat kimiawi yang terutama digunakan dalam genus yang sama (Sutrisno, 2008).

2.4 Jenis feromon
Menurut Sutrisno (2008), feromon dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya :
-Feromon seks,
-Feromon jejak,
-Feromon alarm,
-Feromon agregasi,
-Feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan,
Dll.
Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya (Winoto, 2009).
Feromon agregasi tersebar penggunaannya pada berbagai ordo seperti misalnya Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Familia yang paling banyak dipelajari adalah Scolytidae, Coleoptera; terutama pada kumbang kulit kayu; seperti genus Dendrocnotus dan Ips. Yang menarik, hampir semua feromon agregasi kumbang kulit kayu adalah monoterpen yang secara rumus bangun mirip dengan jenis yang dihasilkan oleh pohon inangnya. Reaksi agregasi merupakan tanggapan terhadap campuran molekul serupa yang saling menunjang efektivitas masing-masing. Komponen molekul serupa semacam itu membentuk suatu kerja kimia yang disebut sinergistik. Masing-masing senyawa sinergis mungkin cukup efektif sebagai molekul tunggal, tetapi lebih efektif jika bahan tersebut bercampur, jauh lebih efektif dibanding sekadar jumlah total efektivitas masing-masing (Winoto, 2009).
Feromon Alarm merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya, dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi (Winoto, 2009).

2. 5 Fungsi Feromones
Ada beberapa fungsi feromon diantaranya :
1. Mempertemukan jantan dan betina kawin
2. Agregasi pada makanan
3. Oviposisi
4. Alarm bila diserang
5. Kontrol perilaku kasta dalam semut
6. Stimulasi migrasi
7. Menghindari multioposisi (Sutrisno, 2008).


BAB III
PEMBAHASAN

Feromon, merupakan sejenis zat kimia yang disekresikan oleh organisme, dan berguna untuk berkomunikasi secara kimia dengan sesamanya dalam spesies yang sama atau untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina.. Berdasarkan fungsinya ada dua kelompok feromon yaitu:
a. Feromon “releaser”, yang memberikan pengaruh langsung terhadap sistem syaraf pusat individu penerima untuk menghasilkan respon tingkah laku dengan segera. Feromon ini terdiri atas tiga jenis, yaitu feromon seks, feromon jejak, dan feromon alarm.
b. Feromon primer, yang berpengaruh terhadap system syaraf endokrin dan reproduksi individu penerima sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis (Nurnasari, 2009).

3.1 Mekanisme Kerja Feromon
Feromon dikeluarkan melalui abdomen pada segmen ke 4 dan 5 pada serangga yang disekresikan oleh kelenjar eksokrin. Struktur senyawa feromon yaitu alkohol dan aldehid. Struktur senyawa yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga reseptor yang dipunyai spesifik pula. Setelah sampai di antena serangga target, senyawa feromon tersebut akan dicapai ke otak melalui sel saraf dan barulah diterima oleh sel penerima.
Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino. Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah (Winoto, 2009).
Agar dapat menimbulkan rangsang, harus ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space"(Winoto, 2009).
Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.
Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku "courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon (Winoto, 2009).
Pada mulanya diduga bahwa masing-masing spesies memiliki kekhasan molekul feromon seks yang dipergunakan untuk memikat lawan jenisnya. Molekul ini diduga khas, unik dan menimbulkan rangsang bagi lawan jenis dalam spesies yang sama, tidak pada serangga lain. Pada kenyataannya yang terdapat di alam ternyata jauh lebih menarik dan lebih kompleks dari dugaan tersebut. Kebanyakan feromon merupakan campuran kompleks dari beberapa senyawa penimbul bau, dan campuran aroma demikian memiliki perbedaan arti yang dapat cukup luas hanya karena sedikit perbedaan kadar campurannya. Karena jenisnya yang menjadi beratus-ratus (atau bahkan beribu-ribu) oleh bentukan campuran senyawanya, maka di sini hanya akan diketengahkan contoh feromon seks pada ulat sutera dan kupu-kupu ratu saja (Winoto, 2009).
3.2 Senyawa Feromon Ngengat Sutera
Bombikol adalah satu-satunya senyawa feromon yang dihasilkan oleh ngengat sutera betina. Adanya bombikal yang kerjanya menghambat respons ngengat jantan terhadap bombikol menyebabkan efektivitas feromon seks sutera menjadi lebih tinggi. Detektor feromon terdapat pada antenna ngengat jantan. Antena ngengat sutera yang besar dan berbentuk seperti bulu ayam mengandung sekitar 64.000 rambut-rambut indera, yang 80% di antaranya khusus untuk menanggapi senyawa feromon. Tiap sensillum dilengkapi dengan dua neron sensorik, yang satu peka terhadap bombikol, yang lain terhadap bombikal; dan masing-masing neron mengirim rangsang secara terpisah ke otak. Otaklah yang kemudian menentukan, menanggapi rangsang tersebut atau tidak (Winoto, 2009).
Di alam terdapat beribu-ribu spesies, yang pada suatu ketika betinanya melepas feromon seks sehingga terdapat berbagai senyawa feromon yang berhubungan dekat satu sama lain di udara. Ini berarti ngengat jantan harus mampu membedakan berbagai feromon dari spesies lain, dan menanggapi dengan tepat feromon spesiesnya sendiri. Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 ng bombikol, yang secara teoritis mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Selain itu, yang penting dalam hal banyak-sedikitnya jumlah feromon adalah peranannya dalam memperluas ruang aktif, sehingga kemungkinan menarik lebih banyak jantan akan lebih besar (Winoto, 2009).
Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis. Orientasi yang pertama berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di "atas" angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut "Schwink effect", dan berlaku baik pada ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas. Orientasi yang kedua berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek ("short-range").
Kupu-kupu ratu. Isyarat visual membantu ngengat jantan mengenali betinanya, seperti halnya pada kupu-kupu ratu (Danaus gilippus berenice). Perilaku kawinnya merupakan pertukaran isyarat yang sangat intens antara jantan dan betina, seperti dijelaskan oleh Lincoln dan Van Zandt-Bower dari Amherst College, Massachussetts.
Kupu-kupu jantan memiliki alat tubuh yang disebut rambut pensil yang merupakan sekumpulan tonjolan tipis dan halus seperti rambut pada ujung abdomen. Bila kupu jantan melihat betina terbang, segera dikejarnya dan didahului, kemudian rambut pensilnya dikibas-kibaskan di depan kepala betinanya, terutama pada antenna.Pliske dan Eisner mengamati bahwa rambut pensil ini mengandung partikel-partikel halus seperti debu, yang kemudian menempel pada antenna, namun bukan bahan ini yang bersifat memikat betina, melainkan suatu jenis bahan senyawa minyak yang disusulkan kemudian. Meinwald dkk. mendapatkan bahwa senyawa yang terkandung dalam minyak ini adalah keton dan suatu diol terpenoid cair (Winoto, 2009).
Adanya rangsangan jantan pada antennanya menyebabkan betina hinggap, dan kemudian melipat sayapnya. Pada saat inilah jantan mencoba melakukan kopulasi. Penelitian Fliske dan Eisner selanjutnya menunjukkan, pada pengamatan detail terbukti bahwa kupu-kupu biakan lab tidak memiliki senyawa keton pada feromonnya. Kupu-kupu yang hidup bebas ternyata mendapatkan prekursor keton dari tumbuhan inang lain yang hanya didatanginya dalam waktu sangat singkat, namun diperlukan agar dapat memperoleh sumber keton (Winoto, 2009).

3.3 Senyawa Feromon seks
Terdapat 2 komponen feromon sex yaitu :
-Feromon sex primer
Zat kimia yang direlease oleh serangga betina dapat menyebabkan ketertarikan pasangan secara umum (agregasi)
-Feromon sex sekunder
Zat kimia yang direlease serangga betina tidak dapat menyebabkan ketertarikan pasangan secara umum (luas) atau memilih pasangan (segregasi)

Menurut Nurnasari (2009), mengungkapkan bahwa senyawa feromon seks beberapa spesies serangga yang telah diidentifikasi, dan telah dibuat sintesisnya antara lain Spodoptera litura. Serangga hama yang lain adalah Helicoverpa armigera dengan bentuk senyawa (z,z)-13, 15-oktadekadiena-1-ol asetat dan (z,z)-11, 13-oktadekadiena-1-ol asetat. Senyawa kimia feromon seks Lasioderma serricorne (F.) telah pula diidentifikasi dan dikarakterisasi dengan bentuk senyawa 4,6-dimetil-7-hidroksinonan-3-one. Pemanfaatan feromoid (feromon sintesis) selain untuk memantau populasi juga dapat untuk mengacaukan perkawinan (mating disruption). Dengan kacaunya perkawinan maka tidak banyak telur yang bisa menetas sehingga populasi tertekan. Teknologi ini telah digunakan untuk mengendalikan Plutella xylostella pada kubis, Pectinophora gossypiella (Saund.) pada kapas, serta Grapholita funebrana (F.) dan G. prumifora (F.) pada apel.
Pada ngengat mempunyai feromon seks yakni Z-7-dodesen-1-il-asetat. Contoh Komposisi Pheromone Plutella xylostella :
PRIMARY COMPONENTS:
(Z) -11 – hexadecenyl acetate : 0,05 mg
(Z) -11 – hexadecenal acetate : 0,05 mg

SECONDARY COMPONENTS
(Z) -11 – hexadecenol acetate : 0,001 mg
___________________________________
Total per rubber septum : 0,101 mg
(Sutrisno, 2008)


BAB IV
KESIMPULAN

Dari pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa :
•Feromon, merupakan sejenis zat kimia yang disekresikan oleh organisme, dan berguna untuk berkomunikasi secara kimia dengan sesamanya dalam spesies yang sama atau untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina.
•Jenis – jenis Feromon :
-Feromon seks,
-Feromon jejak,
-Feromon alarm,
-Feromon agregasi,
-Feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan
•Mekanisme kerja feromon : Feromon dikeluarkan melalui abdomen pada segmen ke 4 dan 5 pada serangga yang disekresikan oleh kelenjar eksokrin. Struktur senyawa feromon yaitu alkohol dan aldehid. Struktur senyawa yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga reseptor yang dipunyai spesifik pula. Setelah sampai di antena serangga target, senyawa feromon tersebut akan dicapai ke otak melalui sel saraf dan barulah diterima oleh sel penerima.
•Beberapa senyawa feromon sex pada :
-Helicoverpa armigera dengan bentuk senyawa (z,z)-13, 15-oktadekadiena-1-ol asetat dan (z,z)-11, 13-oktadekadiena-1-ol asetat
-Lasioderma serricorne (F.) dengan bentuk senyawa 4,6-dimetil-7-hidroksinonan-3-one.
-Ngengat mempunyai feromon seks yakni Z-7-dodesen-1-il-asetat
-Plutella xylostella yaitu (Z) -11 – hexadecenyl acetate, (Z) -11 – hexadecenal acetate dan (Z) -11 – hexadecenol acetate.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Feromon. http://id.wikipedia.org/wiki/feromon. 5 Juni 2009.

Nurnasari, E. 2009. Pemanfaatan Senyawa Kimia Alami Sebagai Alternatif Pengendalian Hama Tanaman . http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/pemanfaatan-senyawa-kimia-alami-sebagai-alternatif-pengendalian-hama-tanaman/. 11 Juni 2009.

Sutrisno, S. 2008. Chemical Control Systems: Pheromones , Attractants , Repellents pada Hama Pemukiman http://www.pestclub.com/index.php?show=news&task=show&id=12. 5 Juni 2009.

Tarumingkeng, R. C. 2001. Serangga dan Lingkungan. http://rudyct.com/SERANGGA_LINGK.htm. 5 Juni 2009.

Winoto. 2009. Feromon, Allomon, Kairomon: Sistem Komunikasi Serangga, Konsep Dasar, Elektroantenogram (Eag), Olfaktometer Dan Uji Biologis Lainnya. 11 Juni 2009.

SERANGGA TANAH SEBAGAI BIOINDIKATOR KESUBURAN TANAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sistem pertanian konvensional selain menghasilkan produksi yang meningkat, juga terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan lingkungan lainnya. Keberhasilan yang dicapai dalam sistem pertanian konvensional juga hanya bersifat sementara, karena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertanian itu sendiri. Oleh karena itu perlu upaya untuk memperbaiki sistem pertanian konvensional dengan mengedepankan kaidah-kaidah ekosistem yang berkelanjutan (Aryantha, 2003).
Sebuah kesadaran perlu dibangun agar masyarakat secara bersama-sama mengupayakan perbaikan tanah yang telah terdegradasi. Terdegradasinya tanah dicerminkan oleh penurunan produksi pertanian akibat salah pengelolaan masa lalu, sehingga perlu dikembangkan strategi untuk memelihara produksi agar tetap optimum. Salah satunya dengan menerapkan sistem pertanian berkelanjutan, yang dicirikan oleh penggunaan pupuk organik, penggunaan mulsa atau pemanfaatan residu tanaman, menggunakan sistem olah tanah konservasi dan mengurangi penggunaan pestisida kimia.
Hasil tanaman dapat digunakan sebagai indikator produksi sekarang, tetapi keberlanjutan hasil ini membutuhkan pemeliharaan kesuburan dan struktur tanah atau kualitas tanah. Kualitas tanah berhubungan secara tertutup dan tercermin dari aktivitas, diversitas, dan populasi mikroflora dan fauna tanah, seperti cacing tanah. Keterbatasan mobilitas cacing tanah membuat sangat sesuai untuk mengontrol pengaruh polutan dan pengelolaan pertanian praktis. Penggunaan residu tanaman dan pengurangan pengolahan tanah merupakan kebutuhan utama di dalam mendukung pertanian berkelanjutan.
Organisme tanah cukup baik sebagai bioindikator tanah karena memiliki respon yang sensitif terhadap praktek pengelolaan lahan dan iklim, berkorelasi baik terhadap sifat tanah yang menguntungkan dan fungsi ekologis seperti penyimpanan air, dekomposisi dan siklus hara, netralisasi bahan beracun dan penekanan organisme patogen dan berbahaya. Organisme tanah juga dapat menggambarkan rantai sebab akibat yang menghubungkan keputusan pengelolaan lahan terhadap produktivitas akhir dan kesehatan tanaman dan hewan. Mesofauna tanah merupakan penghuni lingkungan tanah yang memberikan sumbangan energi dari suatu ekosistem. Hal ini disebabkan karena kelompok fauna tanah dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan fauna yang telah mati. Dalam Wallwork (1976), menyebutkan serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai peranan serangga tanah sebagai bioindikator kesuburan tanah.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini ialah untuk mengetahui peranan dari jenis serangga tanah sebagai bioindikator kesuburan tanah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Keberlanjutan produksi pertanian membutuhkan pemeliharaan kualitas tanah. Istilah kualitas tanah (soil quality) yang diaplikasikan pada ekosistem menunjukkan kemampuan tanah untuk mendukung secara terus menerus pertumbuhan tanaman pada kualitas lingkungan yang terjaga (Magdoff, 2001). Menurut The Soil Science Society of America, yang dimaksud dengan kualitas tanah adalah kapasitas suatu jenis tanah yang spesifik untuk berfungsi di alam atau dalam batas ekosistem terkelola, untuk mendukung produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan dan mendorong kesehatan hewan dan tumbuhan (Herrick, 2000).
Untuk aplikasi di bidang pertanian, yang dimaksud kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem yang sesuai untuk produktivitas biologis, mampu memelihara kualitas lingkungan dan mendorong tanaman dan hewan menjadi sehat (Magdoff, 2001). Secara lebih terinci kualitas tanah didefinisikan sebagai kecocokan sifat fisik, kimia, dan biologi yang bersamasama: (1) menyediakan suatu media untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas biologi; (2) mengatur dan memilah aliran air dan penyimpanan di lingkungan; serta (3) berperan sebagai suatu penyangga lingkungan dalam pembentukan dan pengrusakan senyawa-senyawa yang meracuni lingkungan.
Untuk mengekspresikan kualitas tanah, berbagai indikator yang berbeda telah digunakan baik yang bersifat statis seperti kerapatan ruang (bulk density), porositas, dan kandungan bahan organik; ataupun yang bersifat dinamis dengan menggunakan model simulasi. Kerapatan ruang atau porositas bukan kriteria yang dapat dipercaya untuk membedakan pengaruh penggunaan lahan yang berbeda dalam jangka panjang, tetapi bahan organik tanah merupakan parameter yang relatif stabil yang menggambarkan pengaruh pengelolaan dan tipe tanaman pada periode yang cukup lama (Pulleman et al., 2000).
Komunitas organisme tanah selain berperan penting dalam proses ekologi, seperti siklus hara juga respon terhadap gangguan pada lingkungan tanah seperti kontaminasi terhadap logam berat dan pestisida. Singkatnya sistem biologi sangat sensitif terhadap degradasi yang baru terjadi sekalipun, sehingga perubahan status biologi dari sistem tersebut dapat menjadi peringatan dini atas kemunduran lingkungan (Pankhurst, Doube, dan Gupta, 1997).
Bioindikasi didefinisikan sebagai penggunaan suatu organisme baik sebagai bagian dari suatu individu suatu kelompok organisme untuk mendapatkan informasi terhadap kualitas seluruh atau sebagian dari lingkungannya (Hornby dan Bateman, 1997). Menurut Doran dan Zeiss (2000), tedapat lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu indikator termasuk bioindikator untuk dapat menilai kualitas tanah, yaitu: (1) sensitif terhadap variasi pengelolaan; (2) berkorelasi baik dengan fungsi tanah yang menguntungkan; (3) dapat digunakan dalam menguraikan proses-proses di dalam ekosistem; (4) dapat dipahami dan berguna untuk pengelolaan lahan; serta (5) mudah diukur dan tidak mahal.
2.1 Lingkungan Tanah
Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah mesofauna tanah. Tanah dapat didefinisikan sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Kegiatan biologis seperti pertumbuhan akar dan metabolisme mikroba dalam tanah berperan dalam membentuk tekstur dan kesuburannya (Rao, 1994).
Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam tumbuhan. Melalui akar-akarnya tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, tembaga, seng dan mineral esensial lainnya. Dengan semua ini, tumbuhan mengubah karbon dioksida (dimasukkan melalui daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung. Bersamaan dengan suhu dan air, tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Kimball, 1999).
Fauna tanah merupakan salah satu komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah faktor fisika-kimia tanah selalu diukur (Suin, 1997).
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah., dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 1997). Menurut Wallwork (1970), besarnya perubahan gelombang suhu di lapisan yang jauh dari tanah berhubungan dengan jumlah radiasi sinar matahari yang jatuh pada permukaan tanah. Besarnya radiasi yang terintersepsi sebelum sampai pada permukaan tanah, tergantung pada vegetasi yang ada di atas permukaannya.
Pengukuran pH tanah juga sangat diperlukan dalam melakukan penelitian mengenai fauna tanah. Suin (1997), menyebutkan bahwa ada fauna tanah yang hidup pada tanah yang pH-nya asam dan ada pula yang senang hidup pada tanah yang memiliki pH basa. Untuk jenis Collembola yang memilih hidup pada tanah yang asam disebut dengan Collembola golongan asidofil, yang memilih hidup pada tanah yang basa disebut dengan Collembola golongan kalsinofil, sedangkan yang dapat hidup pada tanah asam dan basa disebut Collembola golongan indifferen. Metode yang digunakan pada pengukuran pH tanah ada dua macam, yaitu secara kalorimeter dan pH meter.
Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban serta kondisi-kondisi serasi (Sutedjo dkk., 1996).
2.2 Fauna Tanah
Fauna tanah adalah fauna yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah (Suin,1997). Beberapa fauna tanah, seperti herbivora, sebenarnya memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian, fauna-fauna tersebut memberikan masukan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun adapula sebagai kehidupan fauna yang lain. Fauna tanah merupakan salah satu kelompok heterotrof (makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen) utama di dalam tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Keberadaan mesofauna tanah dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Dalam sistem tanah, interaksi biota tanah tampaknya sulit dihindarkan karena biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring-jaring makanan dalam tanah (Arief, 2001).
Burges dan Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), menjelaskan bahwa secara garis besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut : pertama-tama perombak yang besar atau makrofauna meremah-remah substansi habitat yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mokroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, feses juga dapat juga dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi fauna ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi. Dengan melihat proses aliran energi yang dikemukakan oleh Burges and Raw (1967) dalam Rahmawaty (2000), dapat dikatakan bahwa tanpa adanya keberadaan mesofauna tanah, proses perombakan materi (dekomposisi) tidak akan dapat berjalan dengan baik.
2.3 Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah tidak terlepas dari keseimbangan biologi, fisika dan kimia; ketiga unsur tersebut saling berkaitan dan sangat menentukan tingkat kesuburan lahan pertanian. Tanpa disadari selama ini sebagian besar pelaku tani di Indonesia hanya mementingkan kesuburan yang bersifat kimia saja, yaitu dengan memberikan pupuk anorganik seperti : urea, TSP/SP36, KCL dan NPK secara terus menerus dengan dosis yang berlebihan.
Pemupukan akan efektif jika pupuk yang ditebarkan dapat menambah atau melengkapi unsur hara yang telah tersedia di dalam tanah. Karena hanya bersifat menambah atau melengkapi unsur hara, maka sebelum digunakan harus diketahui gambaran keadaan tanahnya, khususnya kemampuan awal untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Dalam mendukung kehidupan tanaman, tanah memiliki empat fungsi utama yaitu :
1. Memberi unsur hara dan sebagai media perakaran
2. Menyediakan air dan sebagai tempat penampung (reservoir) air
3. Menyediakan udara untuk respirasi (pernafasan) akar
4. Sebagai media tumbuhan tanaman
Tanah tersusun dari empat komponen dasar, yakni bahan mineral yang berasal dari pelapukan batu-batuan, bahan organik yang berasal dari pembusukan sisa makhluk hidup, air dan udara. Berdasarkan unsur penyusunannya, tanah dibedakan menjadi dua golongan, yaitu tanah mineral dan tanah organik.
2.4 Sifat Fisik Tanah
1. profil tanah
Jika tanah digali sampai kedalaman tertentu, dari penampang vertikalnya dapat dilihat gradasi warna yang membentuk lapisan-lapisan (horison) atau biasa disebut profil tanah. Di tanah hutan yang sudah matang terdapat tiga horison penting yaitu horison A, B dan C. Horison A atau Top Soil adalah lapisan tanah paling atas yang paling sering dan paling mudah dipengaruhi oleh faktor iklim dan faktor biologis. Pada lapisan ini sebagian besar bahan organik terkumpul dan mengalami pembusukan.
Horison B disebut juga dengan zona penumpukan (illuvation zone). Horison ini memiliki bahan organik yang lebih sedikit tetapi lebih banyak mengandung unsur yang tercuci daripada horizon A. Horison C adalah zona yang terdiri dari batuan terlapuk yang merupakan bagian dari batuan induk. Kegiatan pertanian umumnya berada pada horison A dan B.
2. warna tanah
Warna adalah petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Biasanya perbedaan warna permukaan tanah disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan organik. Semakin gelap warna tanah semakin tinggi kandungan bahan organiknya. Warna tanah dilapisan bawah yang kandungan bahan organiknya rendah lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah kandungan dan bentuk senyawa besi (Fe). Di daerah yang mempunyai sistem drainase (serapan air) buruk, warnah tanahnya abu-abu karena ion besi yang terdapat di dalam tanah berbentuk Fe2+.
3. tekstur tanah
Komponen mineral dalam tanah terdiri dari campuran partikel-partikel yang secara individu berbeda ukurannya. Menurut ukuran partikelnya, komponen mineral dalam tanah dapat dibedakan menjadi tiga yaitu; Pasir, berukuran 50 mikron – 2 mm; Debu, berukuran 2 – 50 mikron dan Liat, berukuran dibawah 2 mikron. Tanah bertekstur pasir sangat mudah diolah, tanah jenis ini memiliki aerasi (ketersediaan rongga udara) dan drainase yang baik, namun memiliki luas permukaan kumulatif yang relatif kecil, sehingga kemampuan menyimpan airnya sangat rendah atau tanahnya lebih cepat kering.
Tekstur tanah sangat berpengaruh pada proses pemupukan, terutama jika pupuk diberikan lewat tanah. Pemupukan pada tanah bertekstur pasir tentunya berbeda dengan tanah bertekstur lempung atau liat. Tanah bertekstur pasir memerlukan pupuk lebih besar karena unsur hara yang tersedia pada tanah berpasir lebih rendah. Disamping itu aplikasi pemupukannya juga berbeda karena pada tanah berpasir pupuk tidak bisa diberikan sekaligus karena akan segera hilang terbawa air atau menguap.
2.5 Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah berhubungan erat dengan kegiatan pemupukan. Dengan mengetahui sifat kimia tanah akan didapat gambaran jenis dan jumlah pupuk yang dibutuhkan. Pengetahuan tentang sifat kimia tanah juga dapat membantu memberikan gambaran reaksi pupuk setelah ditebarkan ke tanah.
Salah satu sifat kimia tanah adalah keasaman atau pH (potensial of hidrogen), pH adalah nilai pada skala 0-14, yang menggambarkan jumlah relatif ion H+ terhadap ion OH- didalam larutan tanah. Larutan tanah disebut bereaksi asam jika nilai pH berada pada kisaran 0-6, artinya larutan tanah mengandung ion H+ lebih besar daripada ion OH-, sebaliknya jika jumlah ion H+ dalam larutan tanah lebih kecil dari pada ion OH- larutan tanah disebut bereaksi basa (alkali) atau miliki pH 8-14. Tanah bersifat asam karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman.
Di Indonesia pH tanah umumnya berkisar 3-9 tetapi untuk daerah rawa seeperti tanah gambut ditemukan pH dibawah 3 karena banyak mengandung asam sulfat sedangakan di daerah kering atau daerah dekat pantai pH tanah dapat mencapai di atas 9 karena banyak mengandung garam natrium.
Ada 3 alasan utama nilai pH tanah sangat penting untuk diketahui :
1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman, pada umumnya unsur hara mudah diserap oleh akar tanaman pada pH tanah netral 6-7, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air.
2. pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. pada tanah asam banyak ditemukan unsur alumanium yang selain bersifat racun juga mengikat phosphor, sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi tanaman.
3. pH tanah sangat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Pada pH 5.5 – 7 bakteri jamur pengurai organik dapat berkembang dengan baik
Tindakan pemupukan tidak akan efektif apabila pH tanah diluar batas optimal. Pupuk yang telah ditebarkan tidak akan mampu diserap tanaman dalam jumlah yang diharapkan, karenanya pH tanah sangat penting untuk diketahui jika efisiensi pemupukan ingin dicapai. Pemilihan jenis pupuk tanpa mempertimbangkan pH tanah juga dapat memperburuk pH tanah.
Derajat keasaman (pH) tanah sangat rendah dapat ditingkatkan dengan menebarkan kapur pertanian, sedangkan pH tanah yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan penambahan sulfur. Dapat disimpulkan, secara umum pH yang ideal bagi pertumbuhan tanaman adalah mendekati 6.5-7. Namun kenyataannya setiap jenis tanaman memiliki kesesuaian pH yang berbeda.

2.6 Penilaian kesuburan tanah
Penilaian kesuburan tanah merupakan proses yg mendiagnosis permasalahan unsure hara dan menerapkan anjuran dlm hal pemupukan. Proses mendiagnosis msl unsur hara tnm dan menetapkan anjuran pupuk di wil tropika didasarkan pd pendekatan yg berbeda pd tahap kecanggihan yg berlainan Program penilaian kesuburan tanah dpt dipilahkan menjadi: uji-tanah, analisis tanaman, omission element di rumah kaca, uji coba pupuk sederhana
1. Berdasarkan pada uji-tanah
- Salah satu pendekatan yg terpopuler
- Dikembangkan oleh International Soil Fertility Evaluation and Improvement Program, ISFEIP.
- Kesuburan tanah terutama bersangkut dg unsure hara tnm dan kead tanah
- Penilaian menyangkut tk ketersediaan & kesetimbangan hara di dalam tanah, termasuk cara yg tepat untuk menaksir seluruh faktor tsb (uji-tanah, analisis tnm, sigi tanah, kead iklim)
- Perbaikan meliputi penamb pupuk buatan, gamping, pupuk alam, dan tambahan lain pd tanah dlm jml, waktu & cara ttt, shg dpt memberi lingkungan hara yg optimum utk memperoleh hsl panen
- Program penilaian & perbaikan tanah adl khas-tempat & khas keadaan.
- Penggunaan informasi yg bijaksana mencakup pertimb thd bbrp faktor yg pengaruhi prod, tng kerja, ekonomi & ekologi
- Hanya uji-tanah saja tidak dianggap sbg cara pendekatan yg memuaskan
- Nilai yg diperoleh dlm analisis tanah adl angka empiris yg hanya berarti bila dikorelasikan dg tanggapan hasil
- Menurut Fitts (1974) melibatkan :
a. pengambilan contoh (tanah dan tanaman), CT hrs benar2 mewakili tapak, krn hanya diuji sepermilyarnya
b. analisis laboratorium (tanah dan tanaman), perlu metode yg sesuai dan benar
c. hubungan antara analisis dan tanggapan hasil, di rumah kaca & uji coba lapangan
d. penafsiran dan anjuran, berdasarkan hasil
e. memanfaatkan informasi
f. penelitian

2. Berdasarkan analisis tanaman
- berkembang di daerah tanpa system uji-tanah efektif
- untuk tanaman tahunan dan jangka panjang
- Keuntungannya: merangkumkan pengaruh peubah tanah, tanaman, iklim & pengelolaan
- merup ukuran terakhir ketersediaan unsur hara
- kerugiannya: terlambat untuk memperbaiki kondisi hara tanpa menderita kerugian hasil
- Tujuan:
a. Untuk mengenali masalah keharaan dan menetapkan jumlah perbaikannya melalui penentuan tingkat gawat
b. Menghitung nilai penyerapan unsur hara sbg kunci utk penggunaan pupuk
c. Memantau unsur hara tnm tahunan

3. Berdasarkan pemantauan unsur hara yang hilang
- Termsk menanam tnm penunjuk di dlm rumah kaca atau di lap pd tanah yg diberi pupuk scr omission element
- Mnrt Chaminade (1972), informasi yg diperoleh adl:
a. unsur hara yang kahat
b. kepentingan nisbi kekahatan itu
c. tingkat yg tunjukkan terkurasnya kesuburan akibat pemotongan/penebangan

4. Uji coba pupuk scr sederhana di ladang petani
- dikembangakan oleh Food and Agricultural Organization (FAO)
- bertujuan utk memperkenalkan pupuk sbg sarana utk menaikkan hsl panen di tropika
- mengesampingkan keaneka ragaman tanah setempat
- tidak dapat dibuat anjuran khas-tempat

5. Hubungan antara kesuburan tanah dan penggolongan tanah
- anjuran penggunaan pupuk adalah khas-tempat
- perbedaan sifat tanah merup salah satu penyebab utama utk kekhasan menurut tempat
- program penilaian kesuburan tanah hrs berhub erat dg program penyigian dan penggolongan tanah

2.7 Peranan Fauna Tanah
Organisme-organisme yang berkedudukan di dalam tanah sanggup mengadakan perubahan-perubahan besar di dalam tanah, terutama dalam lapisan atas (top soil), di mana terdapat akar-akar tanaman dan perolehan bahan makanan yang mudah. Akar-akar tanaman yang mati dengan cepat dapat dibusukkan oleh fungi, bakteria dan golongan-golongan organisme lainnya (Sutedjo dkk., 1996).
Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan.
Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror dkk., 1992). Wallwork (1976), menegaskan bahwa serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Szujecki (1987) dalam Rahmawaty (2000), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya.
Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.


BAB III
PEMBAHASAN

Salah satu organisme penghuni tanah yang berperan sangat besar dalam perbaikan kesuburan tanah adalah fauna tanah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dalam penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran. Secara umum, keberadaan aneka macam fauna tanah pada tanah yang tidak terganggu seperti padang rumput, karena siklus hara berlangsung secara kontinyu. Arief (2001), menyebutkan, terdapat suatu peningkatan nyata pada siklus hara, terutama nitrogen pada lahan-lahan yang ditambahkan mesofauna tanah sebesar 20%-50%.
Fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembusukan zat atau bahan-bahan organik dengan cara :
1. Menghancurkan jaringan secara fisik dan meningkatkan ketersediaan daerah bagi aktifitas bakteri dan jamur,
2. Melakukan pembusukan pada bahan pilihan seperti gula, sellulosa dan sejenis lignin,
3. Merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus,
4. Menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas,
5. Membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah. (Barnes, 1997).
Meskipun fauna tanah khususnya mesofauna tanah sebagai penghasil senyawa-senyawa organik tanah dalam ekosistem tanah, namun bukan berarti berfungsi sebagai subsistem produsen. Tetapi, peranan ini merupakan nilai tambah dari mesofauna sebagai subsistem konsumen dan subsistem dekomposisi. Sebagai subsistem dekomposisi, mesofauna sebagai organisme perombak awal bahan makanan, serasah, dan bahan organik lainnya (seperti kayu dan akar) mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumatkan dan mengunyah bahan-bahan tersebut. Mesofauna tanah akan melumat bahan dan mencampurkan dengan sisa-sisa bahan organik lainnya, sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap untuk didekomposisi oleh mikrobio tanah (Arief, 2001). Tarumingkeng (2000), menyebutkan bahwa dalam suatu habitat hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata.
Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan seringkali makanan.
Tanah tersebut diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror dkk., 1992). Wallwork (1976), menegaskan bahwa serangga tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Szujecki (1987) dalam Rahmawaty (2000), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya.
Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.
Mesofauna tanah merupakan penghuni lingkungan tanah yang memberikan sumbangan energi dari suatu ekosistem. Hal ini disebabkan karena kelompok fauna tanah dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan fauna yang telah mati. Dalam Wallwork (1976), menyebutkan serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu.
Keberadaan mesofauna tanah sebagai salah satu komponen hutan sangat penting, terutama dalam hal membantu kesuburan tanah hutan. Hal ini ditegaskan oleh Berryman (1986), yang menyebutkan bahwa serangga berperan penting dalam proses suksesi dan menjaga kestabilan ekosistem hutan.
Odum (1998), menyebutkan bahwa mesofauna tanah meliputi nematoda, cacing-cacing oligochaeta kecil enchytracid, larva serangga yang lebih kecil dan terutama apa yang secara bebas disebut mikroarthropoda; dari yang akhir, tungau-tungau tanah (Acarina) dan springtail (Collembola) seringkali merupakan bentuk-bentuk yang paling banyak tetap tinggal dalam tanah. Beberapa contoh organisme yang khas yang diambil dari tanah dengan menggunakan alat yang dikenal dengan corong Barlese atau corong Tullgren yang serupa, diantaranya : dua kutu oribatida (Elulomannia, Pelops); proturan (Mikroentoman); japygida (Japyx); thysanoptera; simpilan (Scolopendrella); pauropoda (Pauropus); kumbang pembajak (Staphylinidae); springtail atau collembola (Entomobrya); kalajengking semu (cheloneathid); miliped (diplopoda); centipede (chilopoda); larva kumbang scarabarida atau “grub”.
Suhardjono (2000), menyebutkan pada sebagian besar populasi Collembola tertentu, merupakan pemakan mikoriza akar yang dapat merangsang pertumbuhan simbion dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Di samping itu, Collembola juga dapat berfungsi menurunkan kemungkinan timbulnya penyakit yang disebabkan oleh jamur. Collembola juga dapat dijadikan sebagai indikator terhadap dampak penggunaan herbisida. Pada tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan pada lahan yang tidak tercemar.
Collembola bersama dengan Acarina (tungau-tungau tanah) merupakan komponen utama penyusun mesofauna tanah di hampir semua ekosistem terrestrial, dan Collembola berperan penting pada proses dekomposisi serasah dan membentuk struktur mikro pada tanah (Rusek, 1998). Tercatat empat jenis Collembola spp. masing-masing dari suku Isotomidae, Entomobryidae, dan Sminthuridae, dapat juga dipergunakan sebagai indikator kesuburan revegetasi tailing pasir timah .
Famili Entomobrydae dan Isotomidae sering dijumpai pada serasah daun, tanah dan tempat-tempat lembab. Famili ini mempunyai arti penting sebagai pemakan bahan-bahan yang membusuk dan serasah daun, jarang yang bertindak sebagai hama.


BAB IV
KESIMPULAN

Dari hasil pemaparan pada bab sebelumnya, maka dapat diseimpulkan bahwa :
• Serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman, penghancur kayu dan terutama dalam hal membantu kesuburan tanah.
• Contoh serangga tanah sebagai bioindikator kesuburan tanah ialah Collembola bersama dengan Acarina (tungau-tungau tanah)
• Tercatat empat jenis Collembola spp. masing-masing dari suku Isotomidae, Entomobryidae, dan Sminthuridae, dapat juga dipergunakan sebagai indikator kesuburan revegetasi tailing pasir timah .
• Collembola merupakan pemakan mikhoriza akar yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Collembola juga dapat dijadikan bioindikator terhadap dampak penggunaan herbisida, dimana tanah yang tercemar oleh herbisida jumlah Collembola yang ada jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lahan yang tidak tercemar.

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2007. http://elisa.ugm.ac.id/files/cahyonoagus/BnhG5oDE/KESUBURAN%20biologi%20TANAH.doc. 11 Juni 2009.

Anonim. 2008. Kesuburan Tanah. http://goldenbisnis.wordpress.com/kesuburan-tanah/. 11 Juni 2009.

Ansyori. 2004. Potensi cacing tanah sebagai Alternatif bio-indikator pertanian Berkelanjutan. http://rudyct.com/PPS702-ipb/08234/ansyori.pdf. 11 Juni 2009.

Aryantha, I.N.P. 2003. Membangun Sistem Pertanian Berkelanjutan. PAU Ilmu Hayati LPPM-ITB dan Dept. Biologi-FMIPA ITB.

Nurtjahya, E., Dede Setiadi, Edi Guhardja, Muhadiono, dan Yadi Setiadi. 2007.
Populasi Collembola di Lahan Revegetasi Tailing Timah di Pulau Bangka. http://www.unsjournals.com/D/D0804/D080413.pdf. 11 Juni 2009.

Rahmawaty. 2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah Di Kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit.http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-rahmawaty12.pdf. 11 Juni 2009.

HAMA DAN PARASITOID PADA TANAMAN UBI JALAR

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb.) Merupakan sumber karbohidrat yang dapat dipanen pada umur 3 – 8 bulan. Selain karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A,C dan mineral serta antosianin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Disamping itu, ubi jalar tidak hanya digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai bahan baku industri dan pakan ternak (Anonim, 2004).
Di Indonesia, ubi jalar umumnya sebagai bahan pangan sampingan. Sedangkan di Irian Jaya, ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok. Komoditas ini ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan. Luas panen ubu jalar diindonesia sekitar 230.000 ha dengan produktivitas sekitar 10 ton/ha. Padahal dengan teknologi maju beberapa varietas unggul ubi jalar dapat menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah/ha (Anonim, 2004).
Ubi jalar dapat dipanen jika umbi sudah tua dan besar. Panen dapat serentak maupun bertahap. Secara fisik ubi jalar siap dipanen apabila daun dan batang sudah mulai menguning. Didataran rendah, ubi jalar umumnya dipanen pada umur 3,5 – 5 bulan. Sedangkan didataran tinggi ubi jalar dapat dipanen pada umur 2 – 8 bulan. Namun ubi jalar yang akan dipanen mengalami kemerosotan kualitas dan kuantitsnya akibat dari serangan hama. Hama utama adalah hama boleng Cylas formicarius, penggerek batang Omphisa anastomasalis serta nematode Meloidogyne sp yang merugikan ubi jalar (Anonim, 2004).
Hama, dapat dikatakan sebagai mahluk hidup (umumnya hewan seperti serangga, tikus, nematoda) yang menyebabkan kerusakan dan kerugian pada tanaman yang dibudidayakan. Serangga adalah hama yang paling dominan menyerang tanaman. Tidak hanya sebagai hama saja melainkan juga sebagai media penular, baik untuk penyakit virus, nematoda, maupun jamur. Serangga paling banyak menyerang tanaman padi, palawija, hortikultura, buah-buahan mulai dari benih, bibit, bunga, daun, akar, batang dan buah.
Sudah banyak upaya yang dilakukan dalam menangani hama ini, terutama hama yang berasal dari kelompok serangga baik dari petani sendiri maupun pihak yang terkait dalam hal ini para peneliti di lembaga pertanian. Karena sebagian besar hama yang menyerang tanaman pertanian adalah golongan insect (serangga). Upaya pengendalian yang selama ini dilakukan diantaranya : cara mekanis yaitu mengambil satu per satu dan sekaligus membunuhnya, secara biologis yaitu dengan menggunakan musuh alami maupun cara kimia. Hingga kini petani lebih memilih penggunaan cara kimia karena diyakini bahwa cara tersebut bisa langsung membunuh hama. Namun adakalanya petani kurang memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari penggunaan insektisida sintetik.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu :
• Mengetahui hama yang menyerang tanaman ubi jalar
• Mengetahui pengendalian biologis hama tersebut dengan memanfaatkan parasitoid

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hama
Hama adalah makhluk hidup yang menjadi pesaing, perusak, penyebar penyakit, dan pengganggu semua sumber daya yang dibutuhkan manusia. Definisi hama bersifat relatif dan sangat antroposentrik berdasarkan pada estetika, ekonomi, dan kesejahteraan pribadi yang dibentuk oleh bias budaya dan pengalaman pribadi (Sofa, 2008).
Anggota beberapa ordo dari klas Insekta dikenal sebagai penyebab hama tanaman, namun ada beberapa yang bertindak sebagai musuh alami hama (parasitoid dan predator) serta sebagai serangga penyerbuk (Kunte, 2008).
Pengkategorian serangga hama didasarkan pada sumber daya yang dipengaruhinya. Tiga kategori umum hama serangga adalah hama estetika, hama kesehatan, serta hama pertanian dan kehutanan. Hama estetika mengganggu suasana keindahan, kenyamanan, dan kenikmatan manusia. Hama kesehatan menimbulkan dampak pada kesehatan dan kesejahteraan manusia berupa luka, ketidaknyamanan, stress, sakit, pingsan, dan bahkan kematian. Sekitar 50% dari seluruh jenis serangga penghuni bumi merupakan serangga herbivora yang dapat merusak tanaman pertanian dan kehutanan secara langsung atau pun tidak langsung (Sofa, 2008).
Pertanian monokultur dengan varietas tanaman yang berproduksi tinggi telah menyediakan pasokan makanan yang seragam kualitasnya dan tidak ada habis-habisnya bagi serangga herbivor. Sistem monokultur juga telah menciptakan kondisi lingkungan yang sangat mendukung bagi peningkatan laju reproduksi dan laju kelangsungan hidup serangga herbivora. Keduanya menjadi pemicu ledakan hama serangga di lahan pertanian (Sofa, 2008).
Pertanian monokultur biasanya menerima asupan energi berupa pupuk buatan dan pestisida. Jika insektisida yang digunakan untuk mengendalikan populasi hama ternyata juga membunuh atau mengusir musuh alami hama, maka akan terjadi pertukaran dari agen pengendali jangka panjang (musuh alami) ke agen pengendali jangka pendek (insektisida kimia). Apabila pengaruh pengendali kimia tidak ada maka populasi hama akan tumbuh tidak tertahan di lingkungan yang bebas dari musuh alaminya (Sofa, 2008).
Sebagian besar taktik pengendalian hama tidak pernah 100 % efektif. Biasanya akan ada sejumlah kecil hama yang mampu bertahan hidup untuk bereproduksi dan menurunkan materi genetiknya kepada generasi selanjutnya. Apabila materi genetik tersebut membawa gen (atau alel) resisten terhadap insektisida, maka taktik pengendalian yang pernah diterapkan akan kurang efektif terhadap generasi barunya. Populasi hama resisten dapat mencapai ledakan dengan cepat kecuali jika kita mengubah atau memperbarui taktik pengendalian sehingga menjadi lebih efektif (Sofa, 2008).
Mekanisme lain yang menyebabkan ledakan hama adalah perpindahan makhluk hidup, baik sengaja ataupun tidak sehingga mampu melintasi berbagai penghalang geografi antar negara. Jenis-jenis introduksi tersebut menikmati iklim yang sesuai, makanan melimpah, dan tidak ada musuh alami, sehingga populasinya berkembang dengan sangat cepat dan menyebar luas ke lokasi-lokasi lainnya (Sofa, 2008).
Sekarang banyak konsumen menginginkan buah dan sayuran yang bebas sama sekali dari serangga (zero tolerance) dan tidak akan mentoleransi adanya kontaminasi atau kerusakan sedikitpun karena serangga. Produsen telah ditekan oleh konsumen untuk menerapkan praktek pengendalian hama yang lebih keras sehingga dihasilkan komoditas yang diinginkannya. Konsumen tidak menyadari jika penggunaan pestisida yang intensif akan diikuti oleh resurgensi hama dan perkembangan hama sekunder karena tidak ada lagi musuh alaminya, serta munculnya hama resisten terhadap insektisida (Sofa, 2008).

2.2 Morfologi Beberapa Ordo Serangga yang Penting
1. Ordo Orthoptera (bangsa belalang)
Sebagian anggotanya dikenal sebagai pemakan tumbuhan, namun ada beberapa di antaranya yang bertindak sebagai predator pada serangga lain. Anggota dari ordo ini umumnya memilki sayap dua pasang. Sayap depan lebih sempit daripada sayap belakang dengan vena-vena menebal/mengeras dan disebut tegmina . Sayap belakang membranus dan melebar dengan vena-vena yang teratur. Pada waktu istirahat sayap belakang melipat di bawah sayap depan.
Alat-alat tambahan lain pada caput antara lain : dua buah (sepasang) mata facet, sepasang antene, serta tiga buah mata sederhana (occeli). Dua pasang sayap serta tiga pasang kaki terdapat pada thorax. Pada segmen (ruas) pertama abdomen terdapat suatu membran alat pendengar yang disebut tympanum . Spiralukum yang merupakan alat pernafasan luar terdapat pada tiap-tiap segmen abdomen maupun thorax. Anus dan alat genetalia luar dijumpai pada ujung abdomen (segmen terakhir abdomen).
Ada mulutnya bertipe penggigit dan penguyah yang memiliki bagian-bagian labrum, sepasang mandibula, sepasang maxilla dengan masing-masing terdapat palpus maxillarisnya, dan labium dengan palpus labialisnya.
Metamorfose sederhana (paurometabola) dengan perkembangan melalui tiga stadia yaitu telur —> nimfa —> dewasa (imago). Bentuk nimfa dan dewasa terutama dibedakan pada bentuk dan ukuran sayap serta ukuran tubuhnya. Beberapa jenis serangga anggota ordo Orthoptera ini adalah :
Kecoa ( Periplaneta sp.)
Belalang sembah/mantis ( Otomantis sp.)
Belalang kayu ( Valanga nigricornis Drum.)
2. Ordo Hemiptera (bangsa kepik) / kepinding
Ordo ini memiliki anggota yang sangat besar serta sebagian besar anggotanya bertindak sebagai pemakan tumbuhan (baik nimfa maupun imago). Namun beberapa di antaranya ada yang bersifat predator yang mingisap cairan tubuh serangga lain. Umumnya memiliki sayap dua pasang (beberapa spesies ada yang tidak bersayap). Sayap depan menebal pada bagian pangkal ( basal ) dan pada bagian ujung membranus. Bentuk sayap tersebut disebut Hemelytra . Sayap belakang membranus dan sedikit lebih pendek daripada sayap depan. Pada bagian kepala dijumpai adanya sepasang antene, mata facet dan occeli. Tipe alat mulut pencucuk pengisap yang terdiri atas moncong (rostum) dan dilengkapi dengan alat pencucuk dan pengisap berupa stylet. Pada ordo Hemiptera, rostum tersebut muncul pada bagian anterior kepala (bagian ujung). Rostum tersebut beruas-ruas memanjang yang membungkus stylet. Pada alat mulut ini terbentuk dua saluran, yakni saluran makanan dan saluran ludah.
Metamorfose bertipe sederhana (paurometabola) yang dalam perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Bnetuk nimfa memiliki sayap yang belum sempurna dan ukuran tubuh lebih kecil dari dewasanya. Beberapa contoh serangga anggota ordo Hemiptera ini adalah :
Walang sangit ( Leptorixa oratorius Thumb.)
Kepik hijau ( Nezara viridula L)
Bapak pucung ( Dysdercus cingulatus F)
3. Ordo Homoptera (wereng, kutu dan sebagainya)
Anggota ordo Homoptera memiliki morfologi yang mirip dengan ordo Hemiptera. Perbedaan pokok antara keduanya antara lain terletak pada morfologi sayap depan dan tempat pemunculan rostumnya. Sayap depan anggota ordo Homoptera memiliki tekstur yang homogen, bisa keras semua atau membranus semua, sedang sayap belakang bersifat membranus. Alat mulut juga bertipe pencucuk pengisap dan rostumnya muncul dari bagian posterior kepala. Alat-alat tambahan baik pada kepala maupun thorax umumnya sama dengan anggota Hemiptera. Tipe metamorfose sederhana (paurometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> nimfa —> dewasa. Baik nimfa maupun dewasa umumnya dapat bertindak sebagai hama tanaman. Serangga anggota ordo Homoptera ini meliputi kelompok wereng dan kutu-kutuan, seperti :
Wereng coklat ( Nilaparvata lugens Stal.)
Kutu putih daun kelapa ( Aleurodicus destructor Mask.)
Kutu loncat lamtoro ( Heteropsylla sp.).
4. Ordo Coleoptera (bangsa kumbang)
Anggota-anggotanya ada yang bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain. Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal serta tidak memiliki vena sayap dan disebut elytra. Apabila istirahat, elytra seolah-olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan. Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah , umumnya mandibula berkembang dengan baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan kepala. Metamorfose bertipe sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong (pupa) —> dewasa (imago). Larva umumnya memiliki kaki thoracal (tipe oligopoda), namun ada beberapa yang tidak berkaki (apoda). Kepompong tidak memerlukan pakan dari luar (istirahat) dan bertipe bebas/libera. Beberapa contoh anggotanya adalah :
Kumbang badak ( Oryctes rhinoceros L)
Kumbang janur kelapa ( Brontispa longissima Gestr)
Kumbang buas (predator) Coccinella sp.
5. Ordo Lepidoptera (bangsa kupu/ngengat)
Dari ordo ini, hanya stadium larva (ulat) saja yang berpotensi sebagai hama , namun beberapa diantaranya ada yang predator. Serangga dewasa umumnya sebagai pemakan/pengisap madu atau nektar. Sayap terdiri dari dua pasang, membranus dan tertutup oleh sisik-sisik yang berwarna-warni. Pada kepala dijumpai adanya alat mulut seranga bertipe pengisap , sedang larvanya memiliki tipe penggigit . Pada serangga dewasa, alat mulut berupa tabung yang disebut proboscis, palpus maxillaris dan mandibula biasanya mereduksi, tetapi palpus labialis berkembang sempurna.
Metamorfose bertipe sempurna (Holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva bertipe polipoda , memiliki baik kaki thoracal maupun abdominal, sedang pupanya bertipe obtekta. Beberapa jenisnya antara lain :
Penggerek batang padi kuning ( Tryporiza incertulas Wlk)
Kupu gajah ( Attacus atlas L)
Ulat grayak pada tembakau ( Spodoptera litura )
6. Ordo Diptera (bangsa lalat, nyamuk)
Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter . Pada kepalanya juga dijumpai adanya antene dan mata facet. Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap. Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu :
bagian pangkal yang berbentuk kerucut disebut rostum
bagian tengah yang berbentuk silindris disebut haustellum
bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc .
Metamorfosenya sempurna (holometabola) yang perkembangannya melalui stadia : telur —> larva —> kepompong —> dewasa. Larva tidak berkaki (apoda _ biasanya hidup di sampah atau sebagai pemakan daging, namun ada pula yang bertindak sebagai hama , parasitoid dan predator. Pupa bertipe coartacta. Beberapa contoh anggotanya adalah :
lalat buah ( Dacus spp.)
lalat predator pada Aphis ( Asarcina aegrota F)
lalat rumah ( Musca domestica Linn.)
lalat parasitoid ( Diatraeophaga striatalis ).
7. Ordo Hymenoptera (bangsa tawon, tabuhan, semut)
Kebanyakan dari anggotanya bertindak sebagai predator/parasitoid pada serangga lain dan sebagian yang lain sebagai penyerbuk. Sayap terdiri dari dua pasang dan membranus. Sayap depan umumnya lebih besar daripada sayap belakang. Pada kepala dijumpai adanya antene (sepasang), mata facet dan occelli. Tipe alat mulut penggigit atau penggigit-pengisap yang dilengkapi flabellum sebagai alat pengisapnya.
Metamorfose sempurna (Holometabola) yang melalui stadia : telur-> larva–> kepompong —> dewasa. Anggota famili Braconidae, Chalcididae, Ichnemonidae, Trichogrammatidae dikenal sebagai tabuhan parasit penting pada hama tanaman. Beberapa contoh anggotanya antara lain adalah :
Trichogramma sp. (parasit telur penggerek tebu/padi).
Apanteles artonae Rohw. (tabuhan parasit ulat Artona).
Tetratichus brontispae Ferr. (parasit kumbang Brontispa).
8. Ordo Odonata (bangsa capung/kinjeng)
Memiliki anggota yang cukup besar dan mudah dikenal. Sayap dua pasang dan bersifat membranus. Pada capung besar dijumpai vena-vena yang jelas dan pada kepala dijumpai adanya mata facet yang besar. Metamorfose tidak sempurna (Hemimetabola), pada stadium larva dijumpai adanya alat tambahan berupa insang dan hidup di dalam air. Anggota-anggotanya dikenal sebagai predator pada beberapa jenis serangga keecil yang termasuk hama , seperti beberapa jenis trips, wereng, kutu loncat serta ngengat penggerek batang padi (Kunte, 2008).

2.3 Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Pengendalian Hama Terpadu adalah suatu metode dalam pengelolaan atau pengendalian hama menggunakan berbagai kombinasi teknik yang diketahui dengan tujuan mengurangi tingkat populasi dan status hama ke dalam tingkat toleransi tertentu sehingga dapat dikendalikan secara alamiah (dengan musuh alami). Pengendalian ini dilakukan dengan strategi dan taktik PHT harus pula berdasarkan pada kondisi ekologi, ekonomi dan sosial. Strategi dan taktik PHT di antaranya adalah strategi tanpa tindakan, mengurangi jumlah populasi hama, mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama serta kombinasi mengurangi jumlah populasi hama dan mengurangi kerentanan tanaman terhadap hama. Pengendalian biologis adalah salah satu cara pengendalian hama yang efektif dan telah digunakan sejak dahulu. Derajat kesuksesan dari satu program ke program yang lain sangatlah bervariasi dan sangat tergantung pada komponen-komponen yang ada dalam program tersebut (Sofa, 2008).
Pengendalian biologis dapat dikatakan sebagai fenomena alami, bidang studi, atau teknik aplikasi pengendalian hama yang melibatkan musuh alami. Musuh alami di sini diharapkan berperan dalam menekan hama atau spesies yang berperan sebagai hama sehingga kerusakan yang diakibatkannya berada di bawah ambang ekonomi(Sofa, 2008).
Musuh alami dapat berperan sebagai parasit, predator atau patogen. Parasit adalah organisma yang hidup pada atau dalam organisma lain yang lebih besar, yaitu inangnya. Predator adalah organisma yang hidup bebas dan makan organisma lain. Sedangkan patogen adalah mikroorganisma yang menyebabkan penyakit pada organisma lain. Insektisida mikroba dan cara-cara bioteknologi merupakan harapan di masa yang akan datang, mengingat meningkatnya masalah resistensi dan kontaminasi lingkungan oleh insektisida konvensinal di masa yang lalu (Sofa, 2008).

2. 4 Serangga Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang sebelum tahap dewasa berkembang pada atau di dalam tubuh inang (biasanya serangga juga). Parasitoid mempunyai karakteristik pemangsa karena membunuh inangnya dan seperti parasit karena hanya membutuhkan satu inang untuk tumbuh, berkembang, dan bermetamorfosis (Sofa, 2008).
Ada tiga bentuk partenogenesis yang dijumpai pada parasitoid, yaitu thelyotoky (semua keturunannya betina diploid tanpa induk jantan), deuterotoky (keturunannya sebagian besar betina diploid yang tidak mempunyai induk jantan dan jarang ditemukan jantan haploid), dan arrhenotoky (keturunan jantan haploid tidak mempunyai induk jantan, dan keturunan betinanya berasal dari induk betina dan jantan (diploid) (Sofa, 2008).
Parasitoid disebut internal atau endoparasitoid jika perkembangannya di dalam rongga tubuh inang dan eksternal atau ektoparasitoid apabila perkembangannya di luar tubuh inang. Parasitoid yang membunuh atau yang melumpuhkan inang setelah meletakkan telur disebut idiobiont. Parasitoid yang tidak membunuh atau tidak melumpuhkan secara permanen setelah melakukan oviposisi disebut koinobiont. Parasitoud yang menghasilkan hanya satu keturunan dari satu inang disebut soliter dan disebut gregarius kalau jumlah keturunan yang muncul lebih dari satu individu (tetapi berasal dari satu induk) per inang (Sofa, 2008).
Hiperparasitoid atau parasitoid sekunder adalah parasitoid yang menyerang parasitoid primer. Adelphoparasitoid adalah parasitoid jantan yang memparasiti larva betina dari jenisnya sendiri. Multiparasitisme adalah parasitisme terhadap inang yang sama oleh lebih dari satu jenis parasitoid primer, superparasitisme adalah parasitisme satu inang oleh banyak parasitoid dari jenis yang sama (Sofa, 2008).
Sebagian besar parasitoid ditemukan di dalam dua kelompok utama bangsa serangga, yaitu Hymenoptera (lebah, tawon, semut, dan lalat gergaji) dan bangsa Diptera (lalat beserta kerabatnya). Meskipun tidak banyak, parasitoid juga ditemukan pada bangsa Coleoptera, Lepidoptera, dan Neuroptera. Sebagian besar serangga parasitoid yang bermanfaat adalah dari jenis-jenis tawon atau lalat (Sofa, 2008).
Dari bangsa Diptera hanya suku Tachinidae yang paling penting di dalam pengendalian alami dan hayati hama pertanian dan kehutanan. Kelompok terbesar parasitoid, yaitu bangsa Hymenoptera merupakan kelompok yang sangat penting. Dua suku utama dari supersuku Ichneumonoidea, yaitu Braconidae dan Ichneumonidae, sangat penting dalam pengendalian alami dan hayati. Dari supersuku Chalcidoidea yang dianggap sebagai kelompok parasitoid paling penting dalam pengendalian alami dan hayati adalah Mymaridae, Trichogrammatidae, Eulophidae, Pteromalidae, Encyrtidae, dan Aphelinidae.
Parasitoid dianggap lebih baik daripada pemangsa sebagai agen pengendali hayati. Analisis terhadap introduksi musuh alami ke Amerika serikat menunjukkan bahwa keberhasilan penggunaan parasitoid dalam pengendalian hayati mencapai dua kali lebih besar daripada pemangsa.

2.5 PERILAKU PARASITOID UNTUK MENEMUKAN INANG
Urutan perilaku parasitoid dalam menemukan inang dapat diringkas sebagai berikut: 1) lokasi habitat-inang, 2) lokasi inang, 3) penerimaan inang, dan 4) kesesuaian inang. Beberapa faktor penting berpengaruh terhadap perilaku parasitoid. Waktu sebelum oviposisi (peletakan telur), ritme harian dan status perkawinan merupakan faktor internal pada perilaku. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan, cahaya dan angin; serta jenis tanaman, kepadatan dan kejelasan inang, adalah faktor eksternal pada parasitoid.
Perilaku Menemukan Inang dan Stimuli Kimiawi
Substansi kimia memegang peranan dalam pola perilaku parasitoid. Stimuli fisik seprti suara, gerakan, vibrasi, ukuran, bentuk, dan tekstur dianggap sebagai faktor sekunder. Parasitoid seringkali mencari letak inang atau habitat dengan perantaraan aroma tanaman inang (sinomon) bagi hama yang bersangkutan. Pada suatu inang/habitat, kebanyakan parasitoid menemukan inangnya karena adanya aroma atau senyawa kimia yang diberikan oleh inang (kairomon). Beberapa lalat tachinid mengenal inang melalui karion (decaying flesh, bangkai) dan ini dinamakan apneumon (Herminanto,2004).
Organ indera
Banyak kajian di luar negeri yang telah dilakukan pada organ indera yang digunakan untuk mendeteksi semiokimia inang atau habitat inang, terutama pada antena, ovipositor, tarsi, dan mata majemuk. Slifer (1969) pertama kali mempelajari rambut indera Nasonia vitripennis. Selanjutnya beberapa peneliti lain menyelidiki peranan organ indera pada ovipositor. Organ indera tersebut diduga dapat digunakan untuk mengetahui kairomon, perubahan dalam haemolimfa inang, atau feromon di dalam tubuh serangga inang. Parasitoid tachinid mendeteksi kairomon dalam frass (kotoran) inang dengan tarsinya (Greany et al., 1977; Thompson et al., 1983).
Sinomon Untuk Parasitoid
Sinomon dari tanaman sering menjadi kunci bagi lokasi inag/habitat parasitoid. Trichogramma pretiosom misalnya, tertarik pada volatil dari tomat, sementara braconid Diaeretiella rapae tertarik pada volatil tanaman alil isotiosianat. Beberapa seskuiterpen pada tanaman kapas diketahui bertindak sebagai atraktan ichneumonid Campoletis sonorensis. Ichneumonid lain, Itoplectis conquisitor tertarik pada bau pinus Scot tetapi tidak pada pinus merah. Kerusakan tanaman oleh serangga hama sebagai inang parasitoid sering menarik perhatian parasitoid. Apabila bau tersebut berasal dari tanaman, biasanya dikenal dengan nama sinomon. Tachinid Lixophaga diatraeae diketahui tertarik oleh tanaman tebu yang terserang serangga hama yang diparasitnya. Tachinid lain, Cyzenis albicans, tanggap terhadap daun yang dirusak oleh hama inang, kemungkinan dipacu oleh sakarosa dan fruktosa dalam daun itu.
Kairomon Yang Digunakan Oleh Parasitoid
Kairomon yang keluar dari inang ditemukan di berbagai bagian atau stadia inang, atau dari jejak yang ditinggalkannya.
Telur
Telur inang dapat menjadi sumber kairomon bagi parasitoid telur. Misalnya, Tetrastichus hagenowii melakukan gerakan mengitari dan menekan telur inang sebagai respon terhadap kalsium oksalat yang dikeluarkan oleh kelenjar asesori inang. Parasaitoid telur-larva, Chelonus texanus, terstimulir oleh kairomon larut dalam air dari telur inang. Sisik sayap inang merupakan sumber kairomon bagi beberapa parasitoid telur. Dari beberapa hidrokarbon yang telah diisolasi dari ekstrak sisik sayap Helicoverpa evanescens, trikosan adalah yang paling aktif. Parasitoid Chelonus spp. terhambat aktivitas gerakannya karena merespon sisik sayap inang dengan menggunakan antena dan melakukan eksplorasi dengan ovipositornya (Herminanto,2004).
Hemolimfa Telur
Hemolimfa telur kadang-kadang mengandung kairomon, yang memacu pelepasan telur dari ovipositor. Trichogramma spp. meletakkan telur ke dalam larutan yang mengandung garam fisiologis, garam anorganik atau glukosa.
Larva
Parasitoid menggunakan berbagai petunjuk dalam merespon larva inang, misal kutikula, kotoran, kelenjar mandibula, kelenjar benang sutera, eksuviae, hemolimfa dan lainnya. Kotoran segar dan menarik bagi parasitoid dapat menunjukkan adanya inang di sekitarnya. Kairomon untuk parasitoid Ventura canescens diidentifikasi sebagai ketone dari kotoran inang Plodia interpunctella. Kairomon untuk braconid Orgilus lepidus, Bracon melitor, Microplitis croceipes dan M. demolitor, diketahui pada kotoran inang. Aphidius nigripes tertarik pada embun madu (honey dew) aphid sebagai inangnya, dan embun madu diamati memacu perilaku mencari pada spesies ini. Sekresi kelenjar mandibula Anagasta kuehniella menstimulir gerakan oviposisi parasitoid ichneumonid V. canescens. Kairomonnya diketahui sebagai senyawa dari beberapa keton. Kairomon untuk Apanteles kariyai yang diidentifikasi dari eksuviae Pseudaletia separata, ditemukan sebagai 2,5-dialkil tetrahidrofurans (Herminanto,2004).
Pupa
Sinyal kimiawi dari pupa inang ke parasitoid pupa kurang umum dibandingkan dengan sinyal dari larva inang ke parasitoid larva. Parasitoid ichneumonid seperti Pimpla instigator dan Coccygomius turionellae, menemukan pupa inang dengan perantaraan baunya atau kontak dengan senyawa kimianya. Kairomon untuk parasitoid pupa Brachymeria intermedia diisolasi dari pupa ngengat gypsy dan diketahui sebagai beberapa hidrokarbon. Kairomon yang memacu peletakan telur pada hemolimfa pupa dari ngengat lilin diketahui sebagai asam amino dan magnesium klorida yang merangsang oviposisi (Herminanto,2004).
Dewasa
Serangga dewasa mengeluarkan senyawa volatil untuk berkomunikasi dengan individu dari spesies sama (feromon). Beberapa parasitoid inang dewasa menggunakan feromon inangnya. Beberapa aphelinid seperti Aphytis melinus, A. cohei, dan Prospaltella perniciosi, tertarik pada feromon seksual serangga sisik (scale insect) inang. Telenomus remus secara aktif mencari inang dengan adanya feromon seks inang (Herminanto,2004).

BAB III
PEMBAHASAN

Serangga telah ada di muka bumi jauh sebelum adanya manusia dan hingga saat ini serangga seringkali berkompetisi dengan manusia, misalnya dalam hal untuk mendapatkan makanan. Dengan demikian banyak serangga dikatakan sebagai hama. Walaupun demikian banyak juga serangga yang menguntungkan atau berguna bagi manusia, misalnya sebagai polinator, penghasil madu, sutera dan lain-lain (Sofa, 2008).
Sifat serangga yang membutuhkan banyak makanan, dan dengan berkembangnya kebudayaan manusia (keperluan akan lahan, dan lain-lain), serangga seringkali menyerang tanaman pertanian/perkebunan bahkan hewan ternak. Pada awalnya, pengelolaan serangga hama banyak dilakukan dengan menggunakan insektisida. Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kesadaran manusia akan lingkungan, konsep pengelolaan hama menuju ke arah pengendalian yang terpadu atau Pengendalian Hama Terpadu (Sofa, 2008).
Kelimpahan populasi serangga pada suatu habitat ditentukan oleh adanya keanekaragaman dan kelimpahan sumber pakan maupun sumber daya lain yang tersedia pada habitat tersebut. Serangga menanggapi sumber daya tersebut dengan cara yang kompleks. Keadaan pakan yang berfluktuasi secara musiman akan menjadi faktor pembatas bagi keberadaan populasi hewan di suatu tempat oleh adanya kompetisi antar individu.
Hama memiliki dua pengertian, secara luas hama berarti organisme yang dapat mengurangi mutu, ketersediaan, dan jumlah sumber daya tanaman bagi kepentingan manusia. Secara sempit hama berarti semua binatang yang dalam aktivitas hidupnya memakan tanaman yang dibudidayakan sehingga menimbulkan kerugian yang berarti. Serangga hama yang menyerang tanaman ubi jalar adalah hama penggerek batang (Omphisa anastomasalis), hama boleng (Cylas formicarius Fabr.) dan hama ulat penggulung daun (Tabidia aculealis Wlk.) (Radesa, 2008).
Salah satu faktor penghambat dalam budidaya ubi jalar (Ipomoea batatas L. Lamb) varietas Cilembu adalah adanya serangan hama. Hama penting yang menyerang ubi dipertanaman dan dapat mengurangi kualitas cita rasa ubi Cilembu adalah adanya serangan hama boleng/lanas (Cylas formicarius Fabr.). Adanya serangan hama ini menyebabkan rasa ubi menjadi pahit dan tidak enak untuk dimakan. Hama ini menyerang ubi semenjak dari lapangan dan berlanjut di tempat penyimpanan yang sangat merugikan dan mempengaruhi ciri khas rasa ubi Cilembu sebagai komoditas unggulan daerah yang telah dikenal masyarakat luas.
Serangga hama lain yang dijumpai pada pertanaman ubi jalar di desa Cilembu adalah uret (Leucopholis spp.), ulat tanduk (Agrius convolvuli L.), ulat penggulung daun (Tabidia aculealis Wlk.), Helicoverpa armigera, Aspidiomorpha spp belalang (Acrida turrita L.), dan kukuyaan (Epilachna sparsa Hrbst.) (Radesa, 2008).

3.1 Hama pada tanaman Ubi jalar (Ipomoea batatas L. Lamb) varietas Cilembu
1. Hama Boleng/Lanas (Cylas formicarius Fabr.) (Coleoptera, Curculionidae)
Hama ini menyerang ubi jalar dengan cara menggerek ubi sejak di lapangan sampai di tempat penyimpanan. Hama Lanas memiliki siklus hidup berupa telur – larva – pupa – imago, stadia yang merusak adalah stadia larva dan imago. Imago berbentuk kumbang moncong kecil yang berwarna biru metalik kehitaman dengan kepala dan tungkai berwarna merah gelap. Panjang tubuh imago antara 5-7 mm.
Telur berbentuk oval dan berwarna kuning pucat dengan panjang kira-kira 0,65 mm. Telur-telur ini diletakkan satu persatu di dalam jaringan ubi. Stadia telur 6-9 hari.
Larva yang baru keluar dari telur langsung menggerek ke dalam dan membuat lorong-lorong di dalam ubi. Tubuh larva berwarna putih dengan kepala yang berwarna cokelat. Panjang tubuh larva kira-kira 9 mm. Stadium larva berlangsung 19-27 hari.

Pupa terbentuk di dalam liang gerek. Tubuh pupa mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi agak kekuningan pada waktu akan berubah menjadi imago. Panjang tubuh pupa 4 mm. Stadium pupa berlangsung 4-9 hari.

2. Hama Uret (Leucopholis spp.) (Coleoptera, Melolonthidae)
Uret merusak akar tanaman, sehingga sering menyebabkan tanaman mati.
Siklus hidup dari uret adalah telur – larva – pupa – imago, stadia yang merusak adalah stadia larva. Kumbang sebagai imago berwarna coklat tua hingga hitam dan berukuran 20-27 mm. Imago keluar dari lubang tanah pada malam hari. Sebaliknya pada siang hari bersembunyi di dalam tanah. Imago tidak merusak tanaman. Pada waktu kawin, imago betina mengeluarkan bau khas kemudian bertelur di dalam lubang dibawah permukaan tanah hingga kedalaman 1 meter. Tiap lubang dapat berisi sekitar 35 butir telur yang berwarna keputih-putihan Biasanya telur menetas setelah turun hujan.
Larva berukuran panjang 3 cm, berwarna kekuning-kuningan. Stadium larva selama 9 bulan hidup di dalam tanah. Kemudian membentuk pupa dengan lama stadium 4-5 minggu.
Stadia yang berbahaya dari serangga ini adalah stadia larva (uret), sedangkan imago yang berupa kumbang tidak menimbulkan kerusakan pada tanaman ubi. Tanaman yang terserang oleh hama ini memperlihatkan gejala layu dengan daun berwarna kuning kecoklatan. Apabila batang dicabut akan tampak bekas gerekan pada leher akar.
3. Ulat Tanduk (Agrius convolvuli L.) (Lepidoptera, Sphingidae)
Ulat tanduk adalah pemakan daun ubi jalar. Ulat ini dikenal dengan nama ulat tanduk karena mempunyai tanduk pada ruas abdomen ke-8. Ditemukan pada pertanaman dataran tinggi maupun dataran rendah. Larva bila diganggu akan membentuk posisi seperti spinx. Hama ulat tanduk memiliki siklus hidup berupa telur – larva – pupa – imago, stadia yang merusak adalah stadia larva. Larva berwarna keabu-abuan, bagian perut berwarna ungu dengan warna hitam melintang dan bagian punggung berwarna keabu-abuan, rentangan sayap sekitar 10 cm. Telur berwarna hijau, diletakkan secara tunggal pada daun. Larva yang sudah sempurna panjang tubuhnya sekitar 8 – 10 cm dengan semacam tanduk berwarna kuning berada di ujung belakang. Larvanya berwarna coklat gelap, dengan warna kehijau-hijauan atau garis kuning pada sisi tubuhnya. Pupa hama ini biasanya dijumpai di dalam tanah, kokon dibangun dari daun-daun.
Imago merupakan penerbang yang baik, terbang dengan cepat. Beberapa aktif disiang hari tetapi sebagian besar aktif petang dan tertarik cahaya. Dapat berkamuflase sesuai dengan keadaan lingkungannya.

Keberadaan hama ini cukup mengganggu pertanaman ubi jalar, dimana bila populasi hama ini dibiarkan akan mengakibatkan kerusakan yang serius. Ulat memakan daun mulai dari pingiran daun sehingga mengakibatkan kerusakan yang serius pada daun-daun ubi jalar yang dimakannya.

4. Ulat Penggulung Daun (Tabidia aculealis Wlk.) (Lepidoptera, Pyralidae)
Ulat ini sering ditemukan merusak daun, dengan menggulung daun terutama daun yang sudah tumbuh sempurna. Larva berwarna hijau dan hidup dalam gulungan daun muda. Larva mengikat kedua belahan daun menjadi satu, sehingga daun melipat melintang. Sebelum membentuk pupa, larva memakan di dalam tempat persembunyian yang telah dibentuknya. Larva dapat mengikat daun-daun dari ranting yang berbeda.
Hama ini memiliki siklus hidup berupa telur – larva – pupa – imago, stadia yang merusak adalah stadia larva. Pupa dibentuk di dalam gulungan daun yang direkatkan satu sama lain dengan zat perekat dari hama tersebut.
Hama ini dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Hama ini ditemukan merusak dengan cara melipat atau menggulung daun dengan bagian atas merekat antara dua belahan daun. Tanaman ubi Cilembu yang terserang oleh ulat ini terlihat menggulung dengan bagian atas merekat antara dua belahan daun terutama daun muda yang sudah tumbuh sempurna. Serangan dari larva mengakibatkan daun menjadi berwarna coklat, daun terlihat menggulung.

5. Belalang (Acrida turrita L.) (Orthoptera, Acrididae)
Belalang jenis ini menyerang daun tanaman ubi jalar dengan cara memakan bagian tepi, bagian tengah daun, dan bagian tanaman ubi yang lainnya. Populasi belalang yang ditemukan di lapangan berjumlah 270 ekor atau rata-rata berjumlah 2 ekor per petak pengamatan. Belalang termasuk ke dalam ordo Orthoptera, memiliki tipe alat mulut menggigit dan mengunyah. Pada pertanaman ubi di Cilembu, belalang memiliki populasi terbanyak dari keseluruhan serangga hama yang ditemukan.
Belalang memiliki siklus hidup berupa telur – nimfa – imago, stadia berbahaya dari serangga ini adalah stadia nimfa dan imago. Nimfa berwarna hijau sedangkan imago berwarna cokelat, nimfa dan imago memakan daun tanaman sehingga dapat mengurangi atau menggangu proses fotosintesis tanaman.

6. Kukuyaan (Epilachna sparsa Hrbst.) (Coleoptera, Coccinelidae)
Serangga ini termasuk pada ordo Coleoptera, memiliki siklus hidup telur – larva – pupa – imago, stadia berbahaya adalah stadia larva dan imago. Larva dan imago merusak tanaman dengan cara memakan kutikula daun, sehingga daun menjadi berlubang-lubang dan tinggal tulang daunnya saja (Radesa, 2008).

3.2 Serangga Parasitoid pada tanaman ubi jalar
1. Tawon bracon (tawon pinggang pendek)
Famili Braconidae, Ordo Hymenoptera
BRACONID WASPS
Ada banyak jenis tawon bracon. Panjangnya 2-15 mm, berwarna hitam, coklat atau merah pada bagian tubuhnya. Berbagai jenis tawon bracon menyerang ulat, kutu, kepik, wereng dan serangga lain. Ada tawon bracon (namanya Euphorus helopeltidis) yang menyerang kepik pengisap (Helopeltis). Tawon bracon hinggap di atas ulat dan meletakkan telur ke dalamnya. Kadangkala ditemukan ulat dengan tawon kecil di atasnya. Ulat itu sedang diparasit. Biarkan sampai menghasilkan tawon dewasa. Di dalam tubuh seekor ulat bisa terdapat 50-150 larva tawon.
Ada pula jenis bracon yang memparasit kutu daun. Kutu mati, lalu tawon keluar dari lubang di punggung kutu.
Daur hidup
Telur dimasukkan ke dalam ulat atau serangga lain, yang menjadi inangnya. Telur menetas dan menjadi larva yang memakan inang dari dalam. Akhirnya inang mati. Larva berubah menjadi kepompong. Kadang-kadang ditemukan ulat dengan 50-150 butir kepompong kuning di atasnya. Tawon dewasa keluar dari kepompong, terbang dan kawin.
Metamorfosa sempurna
telur larva kepompong dewasa

2. Tawon ichneumon (tawon pinggang ramping)
Famili Ichneumonidae, Ordo Hymenoptera
ICHNEUMONID WASPS
Ada banyak jenis tawon ichneumon, dan tawon ini terdapat dalam berbagai warna. Tawon ini dapat menjadi parasitoid pada berbagai serangga hama. Beberapa jenis ichneumon menyerang inang dengan cara memakannya dari luar. Jenis lain makan inangnya dari dalam.
Daur hidup
Tawon ichneumon terbang mencari inangnya. Tawon hinggap pada inangnya dan menaruh telur di dalam atau di atasnya. Telur menetas dan larva makan inang dari dalam atau dari luar. Larva kemudian menjadi kepompong, dan inang mati. Kadang-kadang ditemukan ulat mati tersambung ke kepompong yang sebesar ulat itu. Kepompong itu mengandung kepompong tawon. Setelah keluar dari kepompong, tawon dewasa terbang dan kawin. Betina mencari inang lagi untuk meletakkan telurnya. Seekor betina dapat meletakkan telur pada 100 ulat.
Metamorfosa sempurna
telur larva kepompong dewasa

3. Lalat tachinid
Famili Tachinidae, Ordo Diptera
TACHINID FLIES
Lalat tachinid kelihatan seperti lalat rumah tetapi bulunya lebih tebal. Larva lalat di pupuk kandang bukan tachinid, karena larva tachinid ada di dalam ulat atau binatang lain. Lalat ini digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama secara hayati. Panjangnya lalat 3 sampai 15 mm (kepala sampai ujung sayap).
Daur hidup
Banyak jenis lalat tachinid meletakkan telur langsung pada inangnya, tetapi sebagian jenis bertelur pada tanaman yang dimakan inangnya. Lalat tachinid hinggap di atas ulat dan menaruh telur di atas atau ke dalam tubuh ulat. Ulat berusaha menghindar, tetapi telur diletakkan dengan cepat. Ada jenis tachinid lainnya meletakkan ribuan telur pada daun yang mungkin nanti dimakan oleh ulat. Bila telur itu sampai ke perut ulat, telur menetas dan larva lalat mulai makan ulat dari dalam. Larva keluar dari ulat dan ulat mati. Larva menjadi kepompong dan jatuh ke tanah. Lalat dewasa makan serbuk sari dari bunga. Tidak memakan pupuk kandang atau kotoran lain. Lalat aktif sepanjang hari. Lalat tachinid kadang-kadang beristirahat pada bunga.
4. Tawon trichogramma (tawon bersayap kipas)
Trichogrammatidae, TRICHOGRAMMATID WASPS
Trichogramma adalah tawon yang kecil sekali. Hanya sebesar butiran garam, tidak terlihat dengan mata telanjang. Jenisnya banyak, kebanyakan berwarna kekuningan dan bermata merah. Trichogramma memarasit telur. Betina meletakkan telurnya di dalam telur serangga lain, seperti penggerek buah. Telur tawon menetas di dalam telur inangnya, dan tempayak Trichogramma merusak telur inang tersebut. Dengan cara itulah tawon kecil ini merusak hama yang ukurannya jauh lebih besar dari pada diri sendiri. Mungkin anda temukan telur ulat buah atau telur ulat grayak yang berwarna kehitam-hitaman, bukan hijau atau putih seperti biasanya. Telur itu telah terparasit oleh tawon trichogramma.
Siklus hidup
Trichogramma dewasa meletakkan 1 sampai 5 butir telur ke dalam telur penggerek buah atau serangga lain. Telur trichogramma menetas, kemudian larva trichogramma memakan telur penggerek dari dalam. Kemudian menjadi kepompong, masih di dalam telur inangnya. Selanjutnya dewasa keluar dari telur sebagai tawon kecil. Dewasa kawin, dan betina meletakkan telurnya di dalam telur serangga lain. Seluruh siklus hidupnya tidak lebih dari 20 hari.
Metamorfosa sempurna
telur larva kepompong lalat
a. Trichogramma minutum
Serangga parasitoid ini berinang di telur ulat tanduk (Agrius convolvuli L.). Anggota ordo Hymenoptera itu bertubuh kecil, hanya 0, 27 mm. Namun, ia mampu melumpuhkan inangnya dalam 7 hari. Caranya betina Trichogramma menaruh lebih dari 100 telur pada satu telur inang. Kemudian telur Trichogramma menetas menjadi larva, tetapi telur inang berubah menghitam. Semakin banyak telur hama yang gagal menetas, populasi hama dapat dikendalikan. Daur hidup parasitoid mulai telur hingga larva hanya berlangsung 8 -10 hari. Ia dewasa setelah tujuh hari menjadi kokon. Selama 30 hari ia bertahan pada itu bertahan fase dewasa. Lantaran betinanya memiliki tingkat reproduksi tinggi, populasinya berkembang cepat. Ia tidak membahayakan manusia, hewan, atau tumbuhan yang bukan makanannya. Ada beberapa strain Trichogramma. Perbedaannya terdapat pada serangga yang dapat dibasmi serta adaptasi terhadap kondisi lingkungan dan tanaman yang berbeda.

5. Trichopoda pennipes
Ia musuh alami beberapa kepik lembing pemangsa labu dan ubi jalar. Betina dewasa menaruh telur di tubuh nimfa mangsanya. Dua minggu kemudian, kepik lembing mati. Sedangkan T. pennipes betina terbang mencari mangsa baru dan menitipkan ratusan telur dalam satu inang. Walau yang berhasil menjadi serangga hanya satu.
Ciri utama parasitoid ini bagian perut berwarna jingga. Ujung perut betina dewasa berwarna hitam. Sayap jantan dewasa lebih gelap. Hingga sekarang penggunaan anggota famili Tachinidae di Indonesia tergolong jarang, karena parasitoid ini rentan insektisida. Sedangkan penggunaan kimia pada lahan sayuran masih sulit dihindari.

6. Microbracon cylasovarus dan Bassus cylasovarus
Serangga tabuhan Microbracon cylasovarus dan parasitoid Bassus cylasovarus merupakan musuh alami dari hama boleng/lanas (Cylas formicarius). Capinera (1998) melaporkan bahwa beberapa spesies parasitoid C. Formicarius yang telah berhasil diperbanyak dilaboratorium adalah Bracon mellitor Say., B. punctatus (Muesebeck), Metapelma spectabile Westwood (semua termasuk ordo: Hymenoptera: Braconidae) dan Euderus purpureas Yoshimoto (Hymenoptera: Eulophidae). Selanjutnya Supriyatin (2001) menyatakan bahwa dua jenis parasitoid Microbracon cylasovarus dan Bassus cylasovarus efektif menekan populasi C. formicarius. Sharp (1995) melaporkan bahwa Phaidole megacephala (semut berkepala besar) efektif memangsa C. formicarius. Predator ini lebih efektif dibanding insektisida dalam menekan populasi C. formicarius. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, pemangsa C. formicarius meliputi semut, kumbang, belalang (Staphylinidae), dan laba-laba yang hidup aktif pada pertanaman ubi jalar (Supriyatin 2001).

BAB IV
KESIMPULAN

Dari pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
• Serangga hama yang menyerang tanaman ubi jalar adalah hama penggerek batang (Omphisa anastomasalis), hama boleng (Cylas formicarius Fabr.), hama ulat penggulung daun (Tabidia aculealis Wlk.), uret (Leucopholis spp.), ulat tanduk (Agrius convolvuli L.), ulat penggulung daun (Tabidia aculealis Wlk.), Helicoverpa armigera, Aspidiomorpha spp, belalang (Acrida turrita L.), dan kukuyaan (Epilachna sparsa Hrbst.).
• Serangga parasitoid yang merupakan musuh alami hama ubi jalar ialah
-Tawon bracon (tawon pinggang pendek)
-Tawon ichneumon (tawon pinggang ramping)
-Lalat tachinid
-Tawon trichogramma (tawon bersayap kipas), Trichogramma minutum
-Microbracon cylasovarus dan Bassus cylasovarus
-Trichopoda pennipes

DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2008. Budidaya Ubi jalar. http://caffedesa.blogspot.com/2009/03/pendahuluan-ubi-jalar-ipomoea-batatas-l.html. 7 Juni 2009.

Anonim. 2008. Pengendalian Biologi Klasik. http://cyber-biology.blogspot.com/2008/08/pengendalian-biologi-klasik-sumber.html. 7 Juni 2009.

Anonim. 2008.Bertumpu Pada Serdadu mini.http://pemulung-gaul.blogspot.com/. 7 Juni 2009.

Radesa. 2008. Serangga Hama Cilembu.http://radesa.wordpress.com/. 7 Juni 2009.

Sofa. 2008. Menggunakan Serangga Pemangsa dan parasitoid sebagai Pengendalian Hama. http://massofa.wordpress.com/page/44/. 7 Juni 2009.