Rabu, 19 Mei 2010

FEROMON SEX INSEKTA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Serangga merupakan hama yang paling dominan menyerang tanaman. Serangga paling banyak menyerang tanaman padi, palawija, hortikultura, buah-buahan mulai dari benih, bibit, bunga, daun, akar, batang dan buah. Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan, masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem (Tarumingkeng, 2001).
Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dll.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dsb. Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata (Tarumingkeng, 2001).
Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida (Tarumingkeng, 2001).
Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model.
Kajian-kajian tentang komunikasi serangga menunjukkan bahwa terdapat senyawa-senyawa kimia yang berperan dalam komunikasi antar individu serangga, dan mekanisme dalam menemukan makanannya. Bahan kimia ini disebut feromon (pheromones) dan banyak di antaranya telah diidentifikasi dan diproduksi secara sintetik, misalnya bahan penarik (atraktan) untuk lawan jenis, atraktan agregasi (atraktan individu serangga sejenisnya) dan atraktan makanan. Feromon sintetik ini kini banyak digunakan untuk mengumpan serangga hama (kemudian diracuni dengan insektisida), mendeteksi adanya hama, mengestimasi kelimpahan dan untuk pengendalian. Feromon sintetik dalam pengendalian hama berfungsi membingungkan lawan jenis sehingga tidak memungkinkan terjadi perkawinan, dan berakibat pada penurunan populasi hama (Tarumingkeng, 2001).
Jenis feromon berbeda-beda pada setiap jenis serangga baik sebagai hama pada tanaman tertentu maupun yang berperan pada tanaman tertentu, diantaranya seperti feromon sex, feromon agregasi, feromon jejak, feromon penunjuk jalan. Dalam hal ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai feromon dan feromon sex pada beberapa serangga.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan paper ini yaitu :
• Untuk mengetahui dan memahami mengenai feromon
• Untuk mengetahui jenis-jenis feromon
• Mengetahui mekanisme kerja feromon
• Mengetahui senyawa feromon sex pada serangga tertentu

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Feromon
Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies) (Anonim,2009).
Ketika pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan fungsi reproduksi serangga. Penemu zat feromon pertama kalinya pada hewan (serangga) adalah Jean-Henri Fabre, ketika pada satu musim semi tahun 1870 an pengamatannya pada ngengat ‘Great peacock’ betina keluar dari kepompongnya dan diletakkan di kandang kawat di meja studinya untuk beberapa lama menemukan bahwa pada pada malam harinya lusinan ngengat jantan berkumpul merubung kandang kawat di meja studinya. Fabre menghabiskan tahun-tahun berikutnya mempelajari bagaimana ngengat-ngengat jantan ‘menemukan’ betina-betinanya. Fabre sampai pada kesimpulan jika ngengat betina menghasilkan ‘zat kimia’ tertentu yang baunya menarik ngengat-ngengat jantan (Anonim,2009).
a. Feromon Pada Kupu-kupu
Ketika kupu-kupu jantan atau betina mengepakkan sayapnya, saat itulah feromon tersebar di udara dan mengundang lawan jenisnya untuk mendekat secara seksual. Feromon seks memiliki sifat yang spesifik untuk aktivitas biologis dimana jantan atau betina dari spesies yang lain tidak akan merespons terhadap feromon yang dikeluarkan betina atau jantan dari spesies yang berbeda
b. Feromon Pada Rayap
Untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada di depan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen), yang dapat dideteksi oleh rayap yang berada di belakangnya. Sifat kimiawi feromon ini sangat erat hubungannya dengan bau makanannya sehingga rayap mampu mendeteksi obyek makanannya.
Feromon Dasar Rayap: Pengatur Perkembangan
Di samping feromon penanda jejak, para pakar etologi (perilaku) rayap juga menganggap bahwa pengaturan koloni berada di bawah kendali feromon dasar (primer pheromones). Misalnya, terhambatnya pertumbuhan/ pembentukan neoten disebabkan oleh adanya semacam feromon dasar yang dikeluarkan oleh ratu, yang berfungsi menghambat diferensiasi kelamin.
Segera setelah ratu mati, feromon ini hilang sehingga terbentuk neoten-neoten pengganti ratu. Tetapi kemudian neoten yang telah terbentuk kembali mengeluarkan feromon yang sama sehingga pembentukan neoten yang lebih banyak dapat dihambat.
Feromon dasar juga berperan dalam diferensiasi pembentukan kasta pekerja dan kasta prajurit, yang dikeluarkan oleh kasta reproduktif.
Dilihat dari biologinya, koloni rayap sendiri oleh beberapa pakar dianggap sebagai supra-organisma, yaitu koloni itu sendiri dianggap sebagai makhluk hidup, sedangkan individu-individu rayap dalam koloni hanya merupakan bagian-bagian dari anggota badan supra-organisma itu.
Perbandingan banyaknya neoten, prajurit dan pekerja dalan satu koloni biasanya tidak tetap. Koloni yang sedang bertumbuh subur memiliki pekerja yang sangat banyak dengan jumlah prajurit yang tidak banyak (kurang lebih 2 - 4 persen). Koloni yang mengalami banyak gangguan, misalnya karena terdapat banyak semut di sekitarnya akan membentuk lebih banyak prajurit (7 - 10 persen), karena diperlukan untuk mempertahankan sarang.
c. Feromon Pada Ngengat
Komunikasi melalui feromon sangat meluas dalam keluarga serangga. Feromon bertindak sebagai alat pemikat seksual antara betina dan jantan. Jenis feromon yang sering dianalisis adalah yang digunakan ngengat sebagai zat untuk melakukan perkawinan. Ngengat gipsi betina dapat mempengaruhi ngengat jantan beberapa kilometer jauhnya dengan memproduksi feromon yang disebut "disparlur". Karena ngengat jantan mampu mengindra beberapa ratus molekul dari betina yang mengeluarkan isyarat dalam hanya satu mililiter udara, disparlur tersebut efektif saat disebarkan di wilayah yang sangat besar sekalipun.
d. Feromon Pada Semut dan Lebah Madu
Feromon memainkan peran penting dalam komunikasi serangga. Semut menggunakan feromon sebagai penjejak untuk menunjukkan jalan menuju sumber makanan. Bila lebah madu menyengat, ia tak hanya meninggalkan sengat pada kulit korbannya, tetapi juga meninggalkan zat kimia yang memanggil lebah madu lain untuk menyerang.
Demikian pula, semut pekerja dari berbagai spesies mensekresi feromon sebagai zat tanda bahaya, yang digunakan ketika terancam musuh; feromon disebar di udara dan mengumpulkan pekerja lain. Bila semut-semut ini bertemu musuh, mereka juga memproduksi feromon sehingga isyaratnya bertambah atau berkurang, bergantung pada sifat bahayanya (Anonim,2009).

2.2 Alomon dan Feromon
Alomon adalah zat yang digunakan untuk komunikasi antargenus. Namun, feromon adalah isyarat kimiawi yang terutama digunakan dalam genus yang sama dan saat disekresikan oleh seekor semut dapat dicium oleh yang lain. Saat semut menyekresi cairan ini sebagai isyarat, yang lain menangkap pesan lewat bau atau rasa dan menanggapinya. Penelitian mengenai feromon semut telah menyingkapkan bahwa semua isyarat disekresikan menurut kebutuhan koloni. Selain itu, konsentrasi feromon yang disekresikan semut bervariasi menurut kedaruratan situasi (Anonim,2009).
Feromon dan alomon merupakan bahan kimia yang disekresi keluar tubuh serangga oleh kelenjar eksokrin sehingga bereaksi di luar tubuh (antar individu). Feromon menjembatani komunikasi individu dalam satu spesies. Kegunaannya beragam mulai dari daya tarik antar kelamin, mencari pasangan, mengisyaratkan bahaya, menandai jejak dan wilayah, serta berbagai interaksi intraspesifik lainnya. Sedangkan allomon merupakan bahan kimia yang bekerja menjembatani komunikasi antar spesies dengan keuntungan bagi penghasil allomonnya. Allomon dipergunakan untuk mengusir predator, membingungkan mangsa, dan memediasi interaksi simbiotik (Winoto, 2009).

2.3 Komunikasi Kimiawi
Senyawa penghubung pada tumbuhan dan serangga fitofagus komunikasi serangga dengan lingkungan : melalui perantaraan senyawa kimia yg disebut Semiokhemikal. Semiokhemikal digolongkan :
-Feromon
-Alelokhemik
Alelokhemik :
Allomone, senyawa ini menimbulkan respon penolakan
Kairomone, senyawa ini menimbulkan respon menarik kehadiran serangga
Synomone, senyawa ini menimbulkan respon simbiotik
Apneumone, senyawa penghubung antara serangga dengan benda mati
Alomon adalah zat yang digunakan untuk komunikasi antargenus. Feromon adalah isyarat kimiawi yang terutama digunakan dalam genus yang sama (Sutrisno, 2008).

2.4 Jenis feromon
Menurut Sutrisno (2008), feromon dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya :
-Feromon seks,
-Feromon jejak,
-Feromon alarm,
-Feromon agregasi,
-Feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan,
Dll.
Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya (Winoto, 2009).
Feromon agregasi tersebar penggunaannya pada berbagai ordo seperti misalnya Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Familia yang paling banyak dipelajari adalah Scolytidae, Coleoptera; terutama pada kumbang kulit kayu; seperti genus Dendrocnotus dan Ips. Yang menarik, hampir semua feromon agregasi kumbang kulit kayu adalah monoterpen yang secara rumus bangun mirip dengan jenis yang dihasilkan oleh pohon inangnya. Reaksi agregasi merupakan tanggapan terhadap campuran molekul serupa yang saling menunjang efektivitas masing-masing. Komponen molekul serupa semacam itu membentuk suatu kerja kimia yang disebut sinergistik. Masing-masing senyawa sinergis mungkin cukup efektif sebagai molekul tunggal, tetapi lebih efektif jika bahan tersebut bercampur, jauh lebih efektif dibanding sekadar jumlah total efektivitas masing-masing (Winoto, 2009).
Feromon Alarm merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya, dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi (Winoto, 2009).

2. 5 Fungsi Feromones
Ada beberapa fungsi feromon diantaranya :
1. Mempertemukan jantan dan betina kawin
2. Agregasi pada makanan
3. Oviposisi
4. Alarm bila diserang
5. Kontrol perilaku kasta dalam semut
6. Stimulasi migrasi
7. Menghindari multioposisi (Sutrisno, 2008).


BAB III
PEMBAHASAN

Feromon, merupakan sejenis zat kimia yang disekresikan oleh organisme, dan berguna untuk berkomunikasi secara kimia dengan sesamanya dalam spesies yang sama atau untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina.. Berdasarkan fungsinya ada dua kelompok feromon yaitu:
a. Feromon “releaser”, yang memberikan pengaruh langsung terhadap sistem syaraf pusat individu penerima untuk menghasilkan respon tingkah laku dengan segera. Feromon ini terdiri atas tiga jenis, yaitu feromon seks, feromon jejak, dan feromon alarm.
b. Feromon primer, yang berpengaruh terhadap system syaraf endokrin dan reproduksi individu penerima sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis (Nurnasari, 2009).

3.1 Mekanisme Kerja Feromon
Feromon dikeluarkan melalui abdomen pada segmen ke 4 dan 5 pada serangga yang disekresikan oleh kelenjar eksokrin. Struktur senyawa feromon yaitu alkohol dan aldehid. Struktur senyawa yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga reseptor yang dipunyai spesifik pula. Setelah sampai di antena serangga target, senyawa feromon tersebut akan dicapai ke otak melalui sel saraf dan barulah diterima oleh sel penerima.
Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino. Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah (Winoto, 2009).
Agar dapat menimbulkan rangsang, harus ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai "ruang aktif" atau "active space"(Winoto, 2009).
Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.
Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku "courtship" atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon (Winoto, 2009).
Pada mulanya diduga bahwa masing-masing spesies memiliki kekhasan molekul feromon seks yang dipergunakan untuk memikat lawan jenisnya. Molekul ini diduga khas, unik dan menimbulkan rangsang bagi lawan jenis dalam spesies yang sama, tidak pada serangga lain. Pada kenyataannya yang terdapat di alam ternyata jauh lebih menarik dan lebih kompleks dari dugaan tersebut. Kebanyakan feromon merupakan campuran kompleks dari beberapa senyawa penimbul bau, dan campuran aroma demikian memiliki perbedaan arti yang dapat cukup luas hanya karena sedikit perbedaan kadar campurannya. Karena jenisnya yang menjadi beratus-ratus (atau bahkan beribu-ribu) oleh bentukan campuran senyawanya, maka di sini hanya akan diketengahkan contoh feromon seks pada ulat sutera dan kupu-kupu ratu saja (Winoto, 2009).
3.2 Senyawa Feromon Ngengat Sutera
Bombikol adalah satu-satunya senyawa feromon yang dihasilkan oleh ngengat sutera betina. Adanya bombikal yang kerjanya menghambat respons ngengat jantan terhadap bombikol menyebabkan efektivitas feromon seks sutera menjadi lebih tinggi. Detektor feromon terdapat pada antenna ngengat jantan. Antena ngengat sutera yang besar dan berbentuk seperti bulu ayam mengandung sekitar 64.000 rambut-rambut indera, yang 80% di antaranya khusus untuk menanggapi senyawa feromon. Tiap sensillum dilengkapi dengan dua neron sensorik, yang satu peka terhadap bombikol, yang lain terhadap bombikal; dan masing-masing neron mengirim rangsang secara terpisah ke otak. Otaklah yang kemudian menentukan, menanggapi rangsang tersebut atau tidak (Winoto, 2009).
Di alam terdapat beribu-ribu spesies, yang pada suatu ketika betinanya melepas feromon seks sehingga terdapat berbagai senyawa feromon yang berhubungan dekat satu sama lain di udara. Ini berarti ngengat jantan harus mampu membedakan berbagai feromon dari spesies lain, dan menanggapi dengan tepat feromon spesiesnya sendiri. Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 ng bombikol, yang secara teoritis mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Selain itu, yang penting dalam hal banyak-sedikitnya jumlah feromon adalah peranannya dalam memperluas ruang aktif, sehingga kemungkinan menarik lebih banyak jantan akan lebih besar (Winoto, 2009).
Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis. Orientasi yang pertama berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di "atas" angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut "Schwink effect", dan berlaku baik pada ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas. Orientasi yang kedua berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek ("short-range").
Kupu-kupu ratu. Isyarat visual membantu ngengat jantan mengenali betinanya, seperti halnya pada kupu-kupu ratu (Danaus gilippus berenice). Perilaku kawinnya merupakan pertukaran isyarat yang sangat intens antara jantan dan betina, seperti dijelaskan oleh Lincoln dan Van Zandt-Bower dari Amherst College, Massachussetts.
Kupu-kupu jantan memiliki alat tubuh yang disebut rambut pensil yang merupakan sekumpulan tonjolan tipis dan halus seperti rambut pada ujung abdomen. Bila kupu jantan melihat betina terbang, segera dikejarnya dan didahului, kemudian rambut pensilnya dikibas-kibaskan di depan kepala betinanya, terutama pada antenna.Pliske dan Eisner mengamati bahwa rambut pensil ini mengandung partikel-partikel halus seperti debu, yang kemudian menempel pada antenna, namun bukan bahan ini yang bersifat memikat betina, melainkan suatu jenis bahan senyawa minyak yang disusulkan kemudian. Meinwald dkk. mendapatkan bahwa senyawa yang terkandung dalam minyak ini adalah keton dan suatu diol terpenoid cair (Winoto, 2009).
Adanya rangsangan jantan pada antennanya menyebabkan betina hinggap, dan kemudian melipat sayapnya. Pada saat inilah jantan mencoba melakukan kopulasi. Penelitian Fliske dan Eisner selanjutnya menunjukkan, pada pengamatan detail terbukti bahwa kupu-kupu biakan lab tidak memiliki senyawa keton pada feromonnya. Kupu-kupu yang hidup bebas ternyata mendapatkan prekursor keton dari tumbuhan inang lain yang hanya didatanginya dalam waktu sangat singkat, namun diperlukan agar dapat memperoleh sumber keton (Winoto, 2009).

3.3 Senyawa Feromon seks
Terdapat 2 komponen feromon sex yaitu :
-Feromon sex primer
Zat kimia yang direlease oleh serangga betina dapat menyebabkan ketertarikan pasangan secara umum (agregasi)
-Feromon sex sekunder
Zat kimia yang direlease serangga betina tidak dapat menyebabkan ketertarikan pasangan secara umum (luas) atau memilih pasangan (segregasi)

Menurut Nurnasari (2009), mengungkapkan bahwa senyawa feromon seks beberapa spesies serangga yang telah diidentifikasi, dan telah dibuat sintesisnya antara lain Spodoptera litura. Serangga hama yang lain adalah Helicoverpa armigera dengan bentuk senyawa (z,z)-13, 15-oktadekadiena-1-ol asetat dan (z,z)-11, 13-oktadekadiena-1-ol asetat. Senyawa kimia feromon seks Lasioderma serricorne (F.) telah pula diidentifikasi dan dikarakterisasi dengan bentuk senyawa 4,6-dimetil-7-hidroksinonan-3-one. Pemanfaatan feromoid (feromon sintesis) selain untuk memantau populasi juga dapat untuk mengacaukan perkawinan (mating disruption). Dengan kacaunya perkawinan maka tidak banyak telur yang bisa menetas sehingga populasi tertekan. Teknologi ini telah digunakan untuk mengendalikan Plutella xylostella pada kubis, Pectinophora gossypiella (Saund.) pada kapas, serta Grapholita funebrana (F.) dan G. prumifora (F.) pada apel.
Pada ngengat mempunyai feromon seks yakni Z-7-dodesen-1-il-asetat. Contoh Komposisi Pheromone Plutella xylostella :
PRIMARY COMPONENTS:
(Z) -11 – hexadecenyl acetate : 0,05 mg
(Z) -11 – hexadecenal acetate : 0,05 mg

SECONDARY COMPONENTS
(Z) -11 – hexadecenol acetate : 0,001 mg
___________________________________
Total per rubber septum : 0,101 mg
(Sutrisno, 2008)


BAB IV
KESIMPULAN

Dari pemaparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa :
•Feromon, merupakan sejenis zat kimia yang disekresikan oleh organisme, dan berguna untuk berkomunikasi secara kimia dengan sesamanya dalam spesies yang sama atau untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina.
•Jenis – jenis Feromon :
-Feromon seks,
-Feromon jejak,
-Feromon alarm,
-Feromon agregasi,
-Feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan
•Mekanisme kerja feromon : Feromon dikeluarkan melalui abdomen pada segmen ke 4 dan 5 pada serangga yang disekresikan oleh kelenjar eksokrin. Struktur senyawa feromon yaitu alkohol dan aldehid. Struktur senyawa yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga reseptor yang dipunyai spesifik pula. Setelah sampai di antena serangga target, senyawa feromon tersebut akan dicapai ke otak melalui sel saraf dan barulah diterima oleh sel penerima.
•Beberapa senyawa feromon sex pada :
-Helicoverpa armigera dengan bentuk senyawa (z,z)-13, 15-oktadekadiena-1-ol asetat dan (z,z)-11, 13-oktadekadiena-1-ol asetat
-Lasioderma serricorne (F.) dengan bentuk senyawa 4,6-dimetil-7-hidroksinonan-3-one.
-Ngengat mempunyai feromon seks yakni Z-7-dodesen-1-il-asetat
-Plutella xylostella yaitu (Z) -11 – hexadecenyl acetate, (Z) -11 – hexadecenal acetate dan (Z) -11 – hexadecenol acetate.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Feromon. http://id.wikipedia.org/wiki/feromon. 5 Juni 2009.

Nurnasari, E. 2009. Pemanfaatan Senyawa Kimia Alami Sebagai Alternatif Pengendalian Hama Tanaman . http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/pemanfaatan-senyawa-kimia-alami-sebagai-alternatif-pengendalian-hama-tanaman/. 11 Juni 2009.

Sutrisno, S. 2008. Chemical Control Systems: Pheromones , Attractants , Repellents pada Hama Pemukiman http://www.pestclub.com/index.php?show=news&task=show&id=12. 5 Juni 2009.

Tarumingkeng, R. C. 2001. Serangga dan Lingkungan. http://rudyct.com/SERANGGA_LINGK.htm. 5 Juni 2009.

Winoto. 2009. Feromon, Allomon, Kairomon: Sistem Komunikasi Serangga, Konsep Dasar, Elektroantenogram (Eag), Olfaktometer Dan Uji Biologis Lainnya. 11 Juni 2009.

Tidak ada komentar: